Di Era Milenial, Masihkah Tour Leader Diperlukan?

Travelounge

TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA, 13 November 2018 – Di era milenial, ketika jari begitu perkasa meraup ragam informasi, dimanakah sejatinya posisi tepat seorang Tour Leader (TL)? Masikah TL diperlukan ketika informasi destinasi wisata tinggal di klik di gadget? Lalu untuk apa lagi keberadaan TL itu jika semuanya mudah saja di dapat

Tidak heran jika ada yang menilai bahwa profesi sebagai TL di era digital bakal punah tergerus jaman. Pada sisi lain, tidak sedikit yang beranggapan, bahwa menjadi Tour Leader (TL) adalah pekerjaan mudah alias remeh temeh.

Beberapa pertanyaan ini mencuat dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Tourism Training Center (TTC) dengan Forum Wartawan Pariwisata Indonesia (Forwapar) pada hari Jum’at (09/11/2018) lalu di Omah Tedjo, Kemayoran, Jakarta.

Tedjo Iskandar, Founder dari TTC, mengatakan, sesungguhnya tidak mudah berprofesi sebagai TL. Lumayan sulit dan kompleks. Meski demikian, pada sisi lain banyak hal yang bisa didapat menjadi seorang TL, seperti memiliki kesempatan mengunjungi beberapa destinasi menarik di seluruh dunia serta mendapat gaji yang lumayan besar.

“Tak hanya itu saja. Dulu tour leader identik dengan hal yang glamour alias mewah. Mulai dari fasyen yang branded, menyambangi tempat liburan hight class dan gaji di atas rata-rata,” ungkap Tedjo.

Tetapi jaman terus melaju, IT kian berkembang. Profesi TL pun harus menyesuaikan dengan derap langkah teknologi masa kini. Hukum alam pun berlaku. Semakin akses informasi dipermudah oleh teknologi, semakin membuka ruang bagi siapa pun untuk melakoni profesi sejenis. Sebut saja, saat ini muncul istilah Open Trip.

Fenomena open trip ini muncul tiga tahun terakhir. Dengan berbekal kian mudahnya mendapatkan informasi detail suatu destinasi dan ditunjang dengan mudahnya mempromosikan paket wisatanya melalui akun sosial media, menimbulkan banyak anak muda yang minim pengalaman berani membuka jasa serupa TL.

Santoso, dari Patriot 38, Komunitas Tour Leader terbesar di Indonesia mengungkapkan, tren open trip ini mulai ada baru tiga tahun belakangan. Dan memang ada klien yang meminta untuk dikelola ketika traveling. Dan, nyatanya, memang ada pelanggan juga yang tidak mementingkan kualitas, yang penting mereka sampai ke destinasi yang dituju dan bisa foto-foto.

Baca Juga: Kemenpar Gelar Lomba Foto ASN

“Konsumen yang baik itu adalah konsumen yang ingin dikelola paket turnya. Kalau berbicara open trip untuk dapat bertanggung jawab lebih jauh akan sulit. Sebab mereka melakukan deal bisnis secara personal,” terang Santoso.

Harus diakui, tambah Santoso, bahwa perkembangan teknologi informasi (baca: digital) turut mempengaruhi lahirnya profesi-profesi baru seperti “TL Jaman Now”. Unggahan-unggahan seperti pemberitaan dari media, kemudian destinasi yang keren di ranah media sosial menjadikan generasi Jaman Now untuk menjadi TL.

“Apalagi, usia di bawah 30 tahun dapat bepergian ke luar negeri menjadi sesuatu yang wow, dan keren bagi mereka. Jalan-jalan mereka gratis dan malah mendapat bayaran dari klien. TL itu kan profesi yang kerjaannya jalan-jalan ke berbagai tempat wisata secara gratis dan mendapat bayaran pula,” terang Santoso.

Meski demikian, para TL jaman Now ini pun harus tetap di bimbing agar mengetahui etika-etika bisnis. Bagaimana memperlakukan klien, misalnya. Begitu juga dengan pengetahuan tentang norma hukum di suatu negara dan lain sebagainya. Tujuannya agar mereka tidak salah arah.

“Jika konsumen mencari suatu travel, berarti konsumen tersebut ingin paket tournya dikelola oleh TL. Artinya si konsumen harus siap diatur orang. Meskipun yang menngatur lebih muda umurnya. Itu baru namanya TL. Akan tetapi, jika konsumen ingin membeli paket wisata yang lebih santai, artinya boleh memilih Open Trip. Dan konsumen yang lebih mengatur waktu,” urai Santoso menjelaskan perbedaan TL dengan Open Trip.

Satu hal lagi, di dunia TL itu, tidak ada ukuran baku dan senioritas. Bisa jadi, yang lebih muda lebih mengetahui dan lebih update atas perkembangan suatu destinasi. Karena mereka sangat gadget friendly. Beda dengan Old School, yang miskin pengalaman atas perkembangan teknologi.

Tedjo kembali menegaskan bahwasanya untuk menjadi seorang TL harus mempunyai ciri khas dan pemikiran yang out of the box. Apalagi sekarang ini profesi TL sudah mengarah ke segmentasi pasar yang lebih khusus.

Ismail Sidik

Berbagi: