Film Indonesia yang Ikut Menduniakan Pariwisata, Belum Bisa Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri

Travelounge

Film Indonesia yang Ikut Menduniakan Pariwisata, Belum Bisa Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri

TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA – Ini sebuah realitas kekinian dari panggung hiburan Indonesia. Memiliki tren kenaikan penonton dan jumlah produksi setiap tahunnya, tapi ternyata film Indonesia masih belum mampu menjadi tuan di rumahnya sendiri. Memang sulit dipungkiri, dominasi film impor masih menguasai layar bioskop di Indonesia. Utamanya ya brojolan produksi Hollywood.

Hal ini terungkap Diskusi Film yang digelar Forum Wartawan Hiburan (Forwan) di Gedung Film Jakarta, Kamis (28/3/2019). Dalam diskusi yang gayeng ini, hadir produser film Ody Mulya Hidayat, Ketua GPBSI Djony Sjafruddin, SH, Ketua LSF Ahmad Yani Basuki, Dian Srinursih dari Pusbang Film, dan tiga wartawan film masing-masing Yan Widjaya, Dimas Supriyanto, Nini Suny, dan Didang Pramasasmita sebagai pembicara.

Menurut wartawan senior Yan Widjaya, masih sulit film Indonesia menjadi tuan rumah, karena dominasi film impor masih tinggi. Pada tahun 2018, jumlah film impor mencapai dua kali lebih banyak dari jumlah film Indonesia. Yang bikin miris, tidak hanya dari Amerika, juga ada dari India dan bahkan Malaysia.

“Dalam perolehan uang, film impor juga lebih banyak. Contohnya film Dilan dapat penonton lima juta lebih, dan film Marvel dengan jumlah penonton yang kurang lebih sama, tetapi Marvel banyak ditonton pada hari libur dan premier dengan tiket lebih mahal, sehingga penghasilannya lebih besar,” kata Yan, menganalis soal raihan duit dari pemutaran film..

Mengenai film Indonesia menjadi tamu yang terhormat di luar negeri, seperti tema diskusi, menurut Yan masih jauh, karena memang tidak ada film Indonesia yang main di negara lain. Bahkan di negeri jiran Malaysia pun penontonnya masih sedikit. Sedangkan dalam ajang festival bergengsi seperti Oscar, kita selalu gagal dan gagal.

Akan halnya Ketua GPBSI Djonny Syafruddin yang dalam keaemoatan ini menghimbau agar pembuat film mau berkonsultasi dengan pihak bioskop, untuk mengetahui jenis-jenis film apa saja yang diinginkan penonton. Jangan asal bisa produksi.

Baca Juga: PARFI 56 Dukung Potensi Pariwisata Maluku Lewat Film

“Tidak semua film impor disukai penonton. Contohnya film Mission Imposible, masih kalah dengan film-film daerah yang dibuat di Makassar. Makanya pembuat film ketemulah dengan pemilik bioskop, kita ngobrol-ngobrol untuk mengetahui pasar yang benar bagi film Indonesia,” kata Djonny serius.

Dalam kesempatan itu Djonny juga meminta agar pemerintah lebih memperhatikan bioskop, terutama dalam penentuan pajak dan pemberian ijin pendirian bioskop baru.”Pemerintah memang harus peduli dan turun tangan untuk masalah ini. Biar perfilman dan perbioskopan Indonesia makin marak,” tandas Jhonny.

Kaitannya dengan pariwisata Indonesia, Menurut pembicara lain, Didang Pramasasmita, film yang berlokasi syuting di tempat wisata sejatinya dapat menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke lokasi tersebut.

“Beberapa film yang syuting di Indonesia sempat membawa keuntungan tersendiri. Misalnya, film Eat Pray Love, syuting di Ubud, Bali, mampu menduniakan Ubud sebagai salah satu daerah di Bali. Belakangan ini, makin banyak film yang mengangkat objek pariwisata di Indonesia, sebut saja film Laskar Pelangi yang berlokasi di Belitong, dan film 9 Summers 10 Autums yang berlokasi di Batu, Malang,” jelasnya.

Menurut Didang, kalau di kelola dengan baik, hal ini bisa menjadi potensi ekonomi yang luar biasa.

Ismail Sidik

Berbagi: