TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA – “Om Swastiastu” itulah sapaan yang dilontarkan penerima tamu saat pengunjung melintasi gapura Museum Kehidupan Samsara atau Samsara Bali Living Museum, di Kabupaten Karangasem, Bali. Terletak di Desa Jungutan, Bebandem, Karangasem, lokasi museum sangat dekat dengan Gunung Agung.
Lalu berlanjut dengan untai selendang merah dan minuman selamat datang kunyit asam yang diracik masyarakat setempat jadi interaksi pertama saat menginjakkan kaki pertama kali di museum yang menceritakan kehidupan lokal masyarakat di Pulau Dewata itu.
Co–Founder Museum Kehidupan Samsara, Ida Bagus Agung Gunartawa di Karangasem, beberapa waktu lalu mengatakan, konsep ini berawal dari keprihatinan modernisasi yang menggerus adat dan budaya Bali. Apalagi kini jarang dipahami terutama oleh generasi muda.
“Museum Kehidupan Samsara adalah salah satu dari pengejawantahan Museum Kehidupan Karangasem yang mengangkat tema tentang siklus hidup manusia Bali. Dimulai dari berbagai nilai serta tradisi yang melekat sejak bayi berada di dalam kandungan, kemudian lahir ke dunia, hidup dan mati bahkan hingga menyatu dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa dan tercapainya kesempurnaan,” papar Agung Gunartawa.
Lebih jauh, konsep dari Museum Samsara ini sendiri adalah merekontruksi rangkaian siklus kelahiran manusia Bali. Dimana semua dibingkai dalam ritual, sarana upakara. Dan pemaknaan di balik simbol-simbol tersebut menjadi informasi praktis yang dapat menjadi pengkayaan pengalaman.
“Di museum ini ada displai dan juga simbolisasi mulai dari bayi dalam kandungan termasuk ngerujak, megedongan, nanem ari, mapag rare, kepus wedel, ngeles kekambuh, telu bulan, nem bulan/oton, semayut meketus dan menek kelih, metatah, ngaben, sampai atma wedana,” kata Agung Gunartawa.
Lihatlah, setidaknya ada 14 rentetan upacara Hindu yang disajikan dalam bentuk foto beserta penjelasan dan alatnya di dalam museum.
Baca Juga: Melongok Penglipuran, Desa Adat yang Eksotis
Selain itu, di museum ini juga diperlihatkan kegiatan aktivitas sehari masyarakat setempat. Dari mulai pembuatan sarana tetabuhan (arak, brem), meulat – ulatan, mejejahitan, melukis wayang, bahkan sampai kegiatan kesenian khas seperti mecakepung/genjek, ngoncang.
Bahkan tanaman upacara juga ditanam di sekitar museum. Ada juga kuliner Bali yang dijual untuk wisatawan dengan harga yang murah meriah.
Ida Ayu Chandramurtie, juru bicara museum menjelaskan, alasan fundamental pembentukan Living Museum ini agar ada diferensiasi dan menunjukkan posisi Karangasem sesuai branding ‘Karangasem the Spirit of Bali’.
“Maka ada aktivitas masyarakat sehari-hari di sini. Jadi ada proses perlindungan dan sebagainya. Dengan semakin dipelihara dan dijaga maka akan semakin mahal harganya ke depan sembari melestarikan,” tegasnya.
Menariknya lagi, museum ini juga turut memberdayakan potensi lokal. Bahkan yang menjalankan semua alat hingga menjajakan makanan tradisional adalah warga sekitar.
“Kami ada 11 orang pegawai lokal. Dengan itu museum ini menjadi salah satu sarana yang mengangkat perekonomian masyarakat sekitar,” pungkasnya.
Ismail Sidik