TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA – Kegilaan pertunjukan seni yang berbau mistis tersirat jelas dalam pertunjukan seni Ebeg Janturan khas Banyumasan, saat Perayaan Hari Wayang di Anjungan Jawa Tengah, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), diselenggarakan oleh UNIMA (Union Internationale de la Marionnette).
Uniknya lagi, kalau cuma satu atau beberapa orang pemain Janturan mengalami trance (kesurupan) adalah hal yang biasa. Namun jika puluhan yang kesurupan tentu merupakan pemandangan luar biasa. Kerennya lagi, beberapa penonton pun ikut kerasukan. Penonton lain antusias mengikuti termasuk Dadi Padumjee ( Presiden UNIMA).
Sore hari, 4 kelompok seni Banyumasan, yakni, Laskar Panji Wulung, Laskar Wahu Putra Gading, Wahyu Kencono, Mekar Lestari bergabung untuk pertunjukan spesial ini. Jumlahnya mencapai 132 orang.
Awalnya mereka hanya menggelar 2 tarian. Pertunjukan berjalan seperti biasanya. Mereka berjajar rapih. Menari jaran kepang. Lalu melakukan gerakan gerakan yang terstruktur mengikuti irama gamelan khas Banyumasan hingga akhir.
Lepas 2 tarian itu mereka langsung bersiap untuk melakukan pertunjukan yang lain dari biasanya. Sesaat kemudian di tengah arena, muncul 7 orang yang boleh disebut sebagai pimpinan masing-masing kelompok. Melakukan ritual pemanggilan arwah atau roh. Mereka berkomat kamit membacakan mantra sambil membakar kemenyan. Ada juga yang melakukan gerakan menyembah ke langit dengan tatapan mata kosong. Kerja ke 7 pemimpin itu dipantau Mbah Lasiman Hadiprayitno, sesepuh paguyuban Ebeg yang paling dituakan.
Langgam menggema lagi. Tak lama berselang, satu persatu pemain mulai trance (kesurupan). Termasuk para penari wanitanya. Gerakan mereka menjadi liar tapi tetap dikendalikan oleh para pembimbing mereka.
Maka mulailah mereka bergerak sesuai roh yang masuk ke dalam raga mereka. Ada roh yang dari gesturenya seperti wanita, roh pria yang usianya sudah ratusan tahun, hingga yang waria.
Soal usia roh ini, menurut Mbah Lasiman, bisa dilihat dari gerakan dan makanan yang diminta. “Kalau usia rohnya sudah tua biasanya makan kemenyan dan daun daunan. Tapi kalau tergolong muda, makanannya bisa makanan kekinian seperti ubi, padi-padian dan rokok,” ujarnya sambil terus mengawasi anak-anaknya yang kesurupan.
Menariknya lagi, tidak hanya para pemain, sejumlah penonton juga ikut kesurupan dengan tiba tiba dan masuk arena dengan gerakan gerakan yang sama dengan pemain lainnya.
“Ini karena mereka menontonnya sambil melamun atau kosong pikirannya hingga mudah kemasukan roh. Tapi sebentar juga bisa kita kembalikan kok,” katanya sambil tersenyum.
Di arena ini kita bisa melihat penonton yang trance hingga tubuhnya kuat dicambuk berkali kali. Ada juga yang sanggup mengupas dan membelah butir kelapa dengan hanya menggunakan giginya. Nampak juga penari wanita yang asik memainkan bara dengan mulutnya. Belum lagi penari yang dengan nikmatnya mengunyah beling.
Salah satu pemain yang paling susah disembuhkan karena kerasukan Roh Eyang Banar. Usai kesurupan ia mengatakan bahwa saat kesurupan dia sama sekali tidak melihat apa–apa. “Ya cuma gelap aja. Hitam semua. Gak tahu apa apa,” kata Ratno yang sehari-haribekerja sebagai konsultan teknik ini.
Bagi Ratno, menjadi pemain Ebeg Janturan bukan pekerjaan utama. “Tapi ini bagian dari melestarikan kebudayaan. Kebetulan kakek dan ayah saya juga pemain kuda lumping. Turunanlah,” katanya sambil menyeka peluh diwajahnya.
Ketika ditanya apakah makanan yang ia makan seperti daun-daunan, padi, kemenyan, bahkan kaca berpengaruh pada kesehatannya, Ratno menyebut tidak ada sama sekali. “Saya pernah periksa dokter usai kesurupan dan makan-makanan yang aneh aneh, tapi kata dokter gak ada apa apa kok,” ujarnya dengan nada bangga.
Bagi Kiman, meski hiburan yang dilakukan rekan-rekannya hanya sebuah permainan, sebelum pertunjukan mereka sudah melakukan persiapan sebelumnya.
“Ya fisik dan mejiknya,” urainya.
Mejik, kata Kirman, dimaknai sebagai sebuah ritual meminta perlindungan selama permainan berlangsung kepada tuhan yang maha esa.
Kirman sudah bergabung dalam kesenian ini selama puluhan tahun. Soal kerasukan itu biasa. Dia pun menjelaskan ciri-ciri pemain yang kerasukan.
“Dia kaku, tidak bisa jalan, berat. Jadi enggak ingatlah. Cuma kalau ditanya bisa jawab,” sambungnya.
Akhirnya menjelang adzan magrib tiba, semua pemain yang keseurupan sudah berhasil dipulihkan menjadi sadar.
Nah, inilah salah satu kekayaan budaya yang tidak mungkin dimiliki bangsa lain. Maka mari kita lestarikan keberadaannya.
Ismail Sidik