travelounge.co | Jakarta – Para aktivis dalam People’s Water Forum dan utamanya kaum perempuan mendapatkan perlakuan tidak sesuai kesusilaan.
People’s Water Forum (PWF) adalah forum yang digelar bersamaan World Water Forum ke-10 2024 di Bali.
Dalam kesempatan itu, para perempuan pejuang hak atas air menuntut kepada World Water Council sebagai penyelenggara World Water Forum 2024 dan pemerintah tempat penyelenggaraan.
Yaitu agar memastikan dan menjamin agar rakyat di negara tempat berlangsungnya konferensi tingkat tinggi ini tetap bebas berpendapat dan berkumpul untuk menyuarakan keprihatinan dan persoalan mereka menghadapi krisis air.
Dan tidak mendapatkan intimidasi, kekerasan dan pembubaran seperti yang terjadi di Bali, Indonesia saat berlangsung World Water Forum ke-10, 18-25 Mei 2024.
Kejadian penyerangan terhadap penyelenggaraan People’s Water Forum (PWF) dan pelarangan keluar dan masuk hotel adalah pelanggaran hak-hak sipil dan politik, termasuk hak kebebasan berkumpul dan berpendapat. Yang merupakan pondasi utama dalam demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.
Kebebasan berkumpul dan berpendapat memungkinkan warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik, mengungkapkan pandangan mereka, serta membentuk dan menyuarakan aspirasi kolektif.
Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam PWF adalah sebagai berikut:
Pertama, Hak Kebebasan Berkumpul. Hak kebebasan berkumpul adalah hak yang diakui secara internasional, termasuk dalam Pasal 20 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Pasal 21 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Hak ini mencakup kebebasan untuk berkumpul secara damai tanpa ancaman atau gangguan dari pihak berwenang atau pihak ketiga.
Larangan masuk dan keluar hotel yang berkegiatan forum rakyat jelas merupakan pelanggaran terhadap hak ini, karena menghalangi orang untuk berkumpul secara damai dan berpartisipasi dalam diskusi atau kegiatan kolektif yang sah.
Kedua, Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. Hak kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin oleh Pasal 19 DUHAM dan Pasal 19 ICCPR. Hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan ide dalam segala bentuk.
Dengan menghalangi akses ke forum rakyat di hotel, pihak berwenang atau pihak yang memberlakukan larangan ini juga secara tidak langsung melanggar hak untuk berekspresi dan berbagi pandangan serta informasi.
Forum semacam itu biasanya merupakan tempat penting untuk menyuarakan dan mendiskusikan ide-ide.
Ketiga, Hak atas Perlindungan dari Kekerasan. Hak atas Perlindungan dari Kekerasan Dijamin dalam Pasal 20 DUHAM, tindakan intimidasi psikologis maupun pelecehan verbal melanggar hak atas perlindungan dari kekerasan dan perlakuan yang tidak manusiawi.
Keempat, Hak atas Mobilitas. Hak atas mobilitas termasuk hak untuk bebas bergerak dan memilih tempat tinggal di dalam wilayah suatu negara, yang diatur dalam Pasal 13 DUHAM.
Larangan masuk dan keluar hotel membatasi kebebasan individu untuk bergerak dan mengakses tempat yang mereka inginkan, yang merupakan bagian dari hak dasar mobilitas.
Kelima, Hak untuk Berpartisipasi dalam Urusan Publik. Hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik dijamin oleh Pasal 21 DUHAM dan Pasal 25 ICCPR.
Ini mencakup hak untuk berpartisipasi dalam proses politik, baik secara langsung mau pun melalui wakil yang dipilih secara bebas.
Forum rakyat sering kali berfungsi sebagai wadah untuk diskusi politik dan partisipasi publik. Menghalangi akses ke forum semacam itu berarti membatasi kemampuan individu untuk terlibat dalam urusan publik dan politik.
Sementara itu kata-kata atau perlakuan pelecehan seksual yang dialami oleh para aktivis perempuan di luar tempat acara PWF oleh para pengadang termasuk tindak pidana kekerasan seksual secara verbal dan sangat merendahkan atau melecehkan perempuan.
Menurut UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) no. 12/2022, pelecehan seksual non fisik adalah perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya.
Perbuatan seksual non fisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.
Ada pun mengucapkan kata-kata bernuansa seksual termasuk dalam kategori pernyataan yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas termasuk perbuatan seksual nonfisik.
Menurut Pasal 5 UU TPKS, pelecehan verbal dan pelecehan non fisik lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 10 juta.
Selanjutnya, tindakan pelecehan seksual verbal yang ditujukan kepada para aktivis perempuan, tentu mencederai mandat Rekomendasi Umum No. 35 Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/ CEDAW (2017) tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadapĀ Perempuan. (Rhadzaki)