Keberadaan PLTA Tampur Menguntungkan atau Menghancurkan?

TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA – Sejatinya gunung, hutan, perkebunan, sungai dan waduk bisa menjadi wisata yang keren bila dikelola dengan benar. Menpar Arief Yahya menegaskan, pariwisata merupakan sektor yang paling kecil menimbulkan kerusakan karena prinsip pembangunan pariwisata adalah suistainable atau berkelanjutan. Lingkungan dan hutan yang terjaga merupakan aset bagi pariwisata untuk mendatangkan wisatawan. Lalu pembangunan PLTA Tampur, Aceh menguntungkan atau Menghancurkan?

Pembangunan pariwisata memang tidak lepas dari kerusakan lingkungan. Namun menurut Menpar Arief Yahya, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan harus ditekan sekecil mungkin. Menpar menggambarkan bagaimana pariwisata concern terhadap sustainable tourism, contohnya masyarakat sekitar hutan yang mengelola lahan hutan untuk kegiatan pariwisata.

Contohnya Kapuas Hulu, Sumatra, 51,56% dari 3,1, juta hektar wilayahnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi termasuk 800 ribu Ha kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), 132 ribu Ha kawasan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS), serta beberapa hutan lindung.

Mencermati kondisi dan status ini, Kapuas Hulu melakukan pembangunan yang tidak bertentangan dengan prinsip yang dianut dari statusnya sebagai kabupaten konservasi dan wilayah HoB. Pengembangan pariwisata khususnya ekowisata merupakan sebuah strategi pembangunan daerah yang selaras dengan konservasi. Ekowisata juga dapat menjadi media mendorong nilai ekonomi dari kawasan konservasi seperti taman nasional dan hutan lindung melalui penikmatan keindahan bentang alam dan mempelajari ekosistem unik yang ada.

Karena itu kapuas Hulu telah menetapkan program pengembangan pariwisata sebagai salah satu program prioritas. Berbagai hal telah dilakukan sebagai upaya percepatan pengembangan kepariwisataan di Kabupaten ini. Upaya pengembangan ekowisata juga selaras dengan tren kepariwisataan masa kini, dimana banyak para wisatawan yang ingin kembali ke alam, mencari pengalaman baru, menghargai lingkungan dan budaya, serta memberikan kontribusi positif bagi daerah dan masyarakat.

Lain halnya dengan Pemda Aceh yang tengah merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang berada di hutan lindung Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Tepatnya di Tampur, Kabupaten Gayo Lues, Aceh.

PLTA berkapasitas 428 mega watt ini, tinggi bendungannya dirancang setingggi 173,5 meter, dengan daya tampung waduk 697.400.000 meter kubik. Rencana luas genangannya 4.000 hektare dan jaringan transmisi saluran udara tegangan tinggi sekitar 275 KVA.

Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) Provinsi Aceh, telah menyetujui pengerjaan proyek tersebut. Meskipun, lebih dari 4.000 hektare hutan di KEL akan menjadi danau dan puluhan kepala keluarga di Desa Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, direlokasi.

Masyarakat Aceh Tamiang mengaku cemas rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Tampur. Sebabnya, pembangunan PLTA Tampur tersebut menggunakan bendungan setinggi 193,5 meter untuk menampung air sungai Tampur, anak sungai dari sungai Tamiang.

Air yang ditampung kemudian dialihkan melalui terowongan sepanjang 190 meter ke turbin di power house dibawah dimana air menggerakkan turbin yang memutarkan generator pembangkit. Setelah melewati turbin, air dialihkan kembali ke sungai.

“Kami masyarakat Tamiang merasa cemas karena kami trauma dengan kejadian banjir bandang yang melanda Aceh Tamiang tahun 2006. Bukannya kami anti pembangunan hanya saja jangan disitu, masih banyak tempat-tempat lain yang bisa menghasilkan listrik tanpa merusak hutan dan menimbulkan bencana,” kata Matsum warga yang juga anggota komunitas masyarakat penjaga hutan dan sungai, di Jakarta, Kamis (30/8/2018)q.

Pembangkit listrik yang kapasitasnya mencapai 443 Megawatt ini dikerjakan perusahaan modal asing PT Kamirzu asal Hongkong. Pembangunan PLTA yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menelan investasi cukup besar senilai Rp 40, 5 triliun dimana tahap konstruksi direncanakan akan dimulai pada akhir 2018 agar siap untuk digunakan pada 2025.

Menurut Riswan Zein dari Yayasan Ekosistem Leuser, kondisi tanah di Kawasan Ekosistem Leuser sangat labil. Mudah longsor yang berpengaruh pada usia bendungan. “Setiap tahun perbukitan di Leuser amblas karena longsor. Bendungan tinggi sangat tidak cocok dibangun karena kondisi tanah yang tidak stabil,” jelas Riswan penuh keprihatinan.

Baca Juga: Kunker di Lombok, Menpar Tebarkan Semangat Menata Lombok

Riswan menuturkan, berdasarkan pantauan GIS, pengurangan luas tutupan hutan Leuser terjadi justru jauh dari pemukiman penduduk. Butuh beberapa hari untuk mencapai lokasi itu. Saat di lokasi, tim menemukan hutan rusak akibat longsor.

Riswan melanjutkan, lokasi proyek PLTA Tampur dekat patahan yang rawan terjadi gempa. Ini juga bisa mempercepat usia bendungan. “Saya tidak bisa bayangkan kalau bendungan itu jebol,” tegasnya.

Terkait rencana pembangunan pembangkit listrik ini, pegiat lingkungan hidip Aceh telah melaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Walhi juga mendesak KLHK untuk tidak mengeluarkan izin pelepasan kawasan hutan.

“Laporan telah disampaikan ke Dirjen Penegakan Hukum dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami melaporkan proyek energi yang dibangun di dalam hutan Leuser itu,” ujar M. Reza Maulana sari Perhimpunan Pengacara Lingkungan Hidup/P2LH).

Reza menambahkan, semua pihak menyadari Provinsi Aceh krisis energi. Tapi harus diingat, pembangkit listrik tersebut berada di hutan dan mengancam kelestariannya. “Ada proyek PLTA di dalam kawasan hutan lindung dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).” cetusnya.

Padahal, KEL merupakan kawasan strategis nasional yang memiliki fungsi daya dukung lingkungan hidup dan pertahanan nasional, sekaligus penyeimbang perubahan iklim dunia. Seharusnya Pemerintah Aceh memaksimal produksi energi dari pembangkit listrik yang telah ada. Atau, program energi diprioritaskan di luar kawasan hutan yang tidak berdampak terhadap ekologi dan ekosistem yang ada.

“Sebagai contoh, pembangunan PLTA Kluet 1 di Aceh Selatan membutuhkan area seluas 443,79 hektare. Dari kebutuhan tersebut, akan digunakan kawasan hutan lindung seluas 424,46 ha, dan sisanya berada di APL 19,33 ha.”

Begitu juga, lanjutnya, dengan PLTA Tampur 1 di Gayo Lues yang membutuhkan area 4.090 ha. Dari area tersebut akan digunakan kawasan hutan lindung sekitar 1.226,83 ha, hutan produksi 2.565,44 ha, dan sisanya APL 297,73 ha. “Pembangunan PLTA Tampur 1 juga berdampak terhadap relokasi permukiman penduduk satu desa, yaitu Desa Lesten,” jelas Reza.

Reza berpendapat, kebutuhan listrik di Aceh sudah cukup bahkan lebih meskipun proyek PLTA di Tampur dan Kluet tidak dikerjakan. “Pemerintah harus benar-benar melihat dampak terhadap kelestarian hutan dan lingkungan saat pembangunan proyek besar dilaksanakan,” terangnya.

Saat ini ada rencana PLTA Kluet 1 di Kabupaten Aceh Selatan berkapasitas 180 MW yang dibangun PT. Trinusa Energi Indonesia, PLTA Tampur 1 di Gayo Lues berkapasitas 443 MW yang dibangun oleh PT. Kamirzu, serta PLTP Seulawah di Aceh Besar berkapasitas 55 MW (tahap awal) dari total potensi 165 MW.

Tetapi sejatinya, orangutan sumatera adalah satwa penting yang hidup di hutan Leuser. Kerusakan habitat akan membuat kehidupannya terganggu dan bisa menyebabkan konflik dengan manusia.

Sebelumnya, masyarakat Kabupaten Gayo Lues yang tergabung dalam Forum Penjaga Hutan dan Sungai Harimau Pining melayangkan protes, terkait pembangunan proyek di Tampur. Dalam pernyataannya, pengrusakan hutan Leuser untuk kegiatan apapun harus dihentikan.

“Tidak ada jaminan proyek yang dikerjakan tidak melakukan aktivitas pengrusakan. Bagi masyarakat Pining, hutan merupakan bagian kehidupan. Lokasi pembangungan listrik ini kaya akan flora dan fauna. Begitu juga potensi ikan di sungai-sungai Pining hingga ke Lesten. Proyek ini akan dipastikan mengancam kearifan masyarakat yang telah tertata,” ujar M. Fahmi dari Yayasan HAKA.

Menurutnya, pembangunan PLTA Tampur berkapasitas besar, akan berdampak buruk terhadap masyarakat dan satwa di daerah tersebut. Masyarakat Gayo Lues, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang, turun temurun menggantungkan hidup dari sungai yang akan dibangun bendungan tersebut.

“Tampur merupakan habitat satwa kunci di Leuser khususnya orangutan, gajah dan harimau sumatera. Jika Tampur dibangun PLTA, habitat satwa pastinya terganggu,” tandasnya.

Ismail Sidik