TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA – Ini kritikan buat media massa Indonesia dari seorang dalang. Menurutnya, media massa Indonesia dinilai kurang berpihak terhadap perkembangan seni budaya Indonesia. Sebaliknya tingkat akomodasi dan akseptasi terhadap produk budaya asing, khususnya transfer budaya pop lebih dominan.
“Mereka cenderung mendukung seni modern. Bahkan mereka lebih suka memberitakan kebudayaan luar negeri, daripada kebudayaan sendiri,” ujar dalang Gaura Mancacaritadipura kepada media, di Markas UNESCO, Paris, Rabu (06/06/2018) pekan lalu.
Gaura adalah salah satu dari delegasi Indonesia yang diutus Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENAWANGI), untuk mengikuti sidang 7th General Assembly yang berlangsung di Markas UNESCO Paris.
Interaksi melalui media massa, lanjut Gaura, memungkinkan masyarakat mendapat pencerahan dan menyerap beranekaragam nilai-nilai. Salah satu sumber kearifan nilai-nilai tersebut ada pada Wayang.
“Menghayati nilai-nilai Wayang sebenarnya kita terus berproses menjadi orang Indonesia seutuhnya. Karena nilai-nilai tuntunan dalam Wayang, diakui mencakup semua nilai-nilai luhur yang ada di Nusantara. Nilai-nilai ini tentu cukup baik dimasyarakatkan melalui media,” harap dalang Warga Negara Indonesia, asal Australia ini.
Wayang senantiasa terbuka mengantisipasi perkembangan zaman. Sebab Wayang memuat kekuatan amot, among, amemangkat, yang memiliki kemampuan menerima pengaruh dari luar untuk disaring dan diolah guna memperkuat budaya Wayang. Budaya Wayang dimaksud dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values).
Baca Juga: Menpar Ikut Larut dalam Ritual Seblang Olehsari Banyuwangi
“Masyarakat kita pernah mengalami orientasi budaya populer. Antara lain pernah merebak di tanah air, yaitu budaya K-Pop. Tapi budaya K-Pop mulai turun. Karena budaya instan tidak ada isinya. Berbeda dengan budaya Wayang. Paling tidak seni budaya ini sudah ada dari abad ke-12. Atau mungkin lebih lama dari itu. Namun masih bertahan hingga kini,” ujar Gaura.
Menurut Gaura, sedemikian besar masyarakat internasional menghargai Wayang. Sehingga Wayang diakui sebagai warisan budaya dunia. Namun seberapa besar atensi orang Indonesia terhadap seni budaya Wayang, hal itu menjadi pertanyaan.
Karena itu, Gaura kembali menegaskan tentang pentingnya peran Pemerintah yang lebih konkret. “Kita mengharapkan pemerintah lebih serius dan konsekuen mengurusi masalah warisan budaya tak benda ini. Dalam sidang ini mereka (wakil Pemerintah) hadir. Tapi hanya satu orang. Mereka tahu kita (delegasi SENAWANGI) datang, tapi sebatas mengetahui. Support-nya baru sebatas moril,” ungkap Gaura.
Agar nilai-nilai diluhung dalam Wayang bisa terus disampaikan dan diinternalisasikan ke penonton, maka kata Gaura, perlu pertunjukan wayang terus berlangsung. Hal ini membutuhkan regenerasi pewayangan, baik dari segi penggiat, maupun penontonnya.
“Lebih menekankan pentingnya transmisi budaya Wayang untuk dikenalkan kepada generasi muda. Membuat pelatihan Dalang, Karawitan, Sinden, termasuk mendorong seni pengrajin Wayang, dan membuka peluang pergelaran Wayang. Kami sudah tua, jika tidak dicetak yang muda-muda lama-kelamaan generasi yang memiliki kompetensi seni Wayang akan habis,” ujarnya.
Poin-poin penting yang perlu dilakukan SENAWANGI, kata Gaura, meneruskan program yang sudah berjalan. Antara lain, melakukan jejaring komunikasi dengan UNESCO, dan dengan berbagai NGO yang sudah terakreditasi. Melakukan penelitian dan pengembangan pewayangan, menerbitkan buku Wayang, menyelenggarakan Festival Wayang Indonesia, Teater Wayang Indonesia, menyusun Pusat Data Wayang Indonesia (PDWI), dan mengusulkan kepada Pemerintah, agar ada Hari Wayang Indonesia.
“Buku-buku menjadi penting sebagai referensi agar Wayang tidak hanya jadi tontonan, tapi jalan hidup. Nilai-nilai filsafat itu disampaikan melalui kepustakaan. Dari perspektif buku inilah Wayang harus diangkat, dikedepankan agar Wayang jangan hanya dilihat dari sisi hiburan (performance), tapi juga tatanan, dan tuntunan,” ujar Gaura.
Ismail Sidik