TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA, 12 Desember 2018 – Berupaya untuk terus peduli pada dunia broadcast, memasuki penghujung tahun 2018, Forum Wartawan Hiburan (FORWAN) kerja bareng Humas TVRI, PWI, Nagaswara Musik, Pro Aktif, Papa Rons Pizza Cafe dan PT Kino Indonesia Tbk serta Ascada Musik menggelar diskusi publik untuk melihat tren media landscape di era industri digital 4.0’, antara peluang dan kehancuran.
Dalam diskusi yang di helat beberapa waktu lalu, menghadirkan para narasumber yang kompeten dibidangnya. Mereka antara lain Naratama yang merupakan seorang produser televisi Voice Of America (VOA), Rummy Aziez (produser Jagonya Musik dan Support) serta Seno M Hardjo (produser label Target (Pop).
“Tema ini kami pilih sesuai harapan pemangku kepentingan televisi dan media landscape yang sekarang ini tengah berkembang pesat. Bahkan sangat perlu dipahami teman-teman media yang setiap hari meliput dunia hiburan,” ujar Sutrisno Boeyil, Ketua Umum Forum Wartawan Hiburan, memberi kata sambutan di Studio Of Star TVRI yang sekaligus Resto Papa Rons Pizza Cafe komplek TVRI Stasiun Pusat Jakarta.
Narasumber sepakat, bahwa era digital membawa berbagai dampak positif yang dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Namun, era digital juga memiliki imbas negatif. Oleh karenanya menjadi tantangan di era digital. Baik itu di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan dan teknologi informasi.
Perubahan yang paling terasa adalah dalam media massa. Media massa konvensional yang dulu menjadi bacaan sekaligus sumber hidup banyak orang, sudah tergantikan oleh media online, pemesan barang kebutuhan konsumsi dan alat transportasi sudah berada dalam genggaman.
Sejak beberapa tahun belakangan, dunia penyiaran juga mulai terancam oleh teknologi digital. Siaran televisi kurang diminati oleh generasi milenial, karena konten-konten hiburan, berbagai jenis informasi sudah bisa dilihat melalui telepon genggam. Kapan saja, di mana saja. Maunya apa?
“Anak-anak sekarang melihatnya media landscape digital. Bukan televisi. Anak-anak sekarang tidak lagi mendengar musik dari radio, tapi forecast. New York sekarang jadi biggest fodcast,” papar Naratama, praktisi pertelevisian yang kini bekerja di Voice of America (VOA).
Nara yang tampil sebagai pembicara dalam Diskusi bertajuk “Membaca Tren Media Landscape di Era Industri Digital 4.0” Anak-anak muda, sebagai konsumen acara televisi, hanya memiliki waktu 10 detik dalam menentukan waktu untuk membaca atau melihat apa yang mau ditonton.
“Jika program itu menarik akan dilanjutkan, jika tidak ditinggalkan. Dan anak-anak muda hanya menonton program yang mereka sukai,” tukas Nara.
Karenanya, lanjut Nara, era digital memiliki dua sisi. Negatifnya, telah menghabisi bisnis lama yang dijalankan secara konvensional, tetapi positifnya era ini membuka peluang kepada siapa saja untuk bisa berperan.
Baca Juga: Studio Music Purwa Caraka Sarat Prestasi
“Semua bisa dilakukan lebih simpel, tidak perlu SDM yang banyak, yang penting seseorang bisa memiliki multi skill. Dia bisa menulis, bisa mengoperasikan kamera, bisa mengedit dan pembawa acara sekaligus. Banyak siaran dari studio televisi yang hanya ditangani oleh dua orang,” tuturnya.
Hal yang sama juga dirasakan Seno M Hardjo. Ia mengaku merasakan berkah kemajuan teknologi digital. Jika dulu dia harus menyiapkan infrastruktur rekaman bila ingin membuat rekaman musik, kini dia tinggal memesan kepada pemusik, lalu pemusik mengerjakan di rumah dan tinggal mengirim hasilnya.
Di era Digital ini, imbuh Seno, selain biaya produksi semakin murah, promosinya pun bisa lebih murah, karena media online jangkauannya luas. “Dulu, biaya promosi 3 kali dari biaya produksi. Biaya promosi lebih murah, saya pun sangat terbantu oleh promosi media online,” jelas Seno.
Sementara itu Rummy Azies produser Jagonya Musik dan Support menambahkan bahwa era digital telah merusak bisnis dunia musik, karena orang lebih mudah mendapatkan lagu-lagu ilegal melalui internet. “Musik tetap maju, tapi bisnisnya hancur. Posisi kita sendiri berada di tengah. Dibilang terpuruk tidak, masih ada. Namun untuk mengembangkan bisnisnya sulit. Kita butuh peluang-peluang baru, yang bisa ditayangkan secara internasional,” tegas Rummy.
Lain lagi yang dipaparkan Nara. Menurutnya kondisi industri musik di Amerika berbeda dibandingkan Indonesia. Para artis di Amerika tidak lagi mencari uang dengan musiknya melalui media. Mereka hanya menggunakan media digital untuk branding barang-barang yang dikenakannya. Bahkan untuk cari duit, mereka melakukan kegiatan off air.
“Artis yang jarang muncul di televisi, harga tiketnya tetap mahal kalau mengadakan pertunjukkan. Boy George tiketnya masih 50 dolar. Makin jarang muncul, makin mahal tiketnya. Promosinya melalui instagram,” tutur dia.
Diharapkan Rummy bahwa diskusi yang dilakukan oleh Forwan kali ini, bisa dikembangkan pada gelaran Diskusi Akhir Tahun Seputar Industri Musik yang bakal digelar Sabtu, (15/12).
“Yang jelas, diskusi yang digelar Forwan ini, membuka mata saya selaku bisnis musik. Makanya saya berharap pada diskusi Musik nanti Forwan bisa menajamkan tema diskusinya,” pungkas Rummy.
Ismail Sidik