TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA – Sungguh menyenangkan berwisata bhineka dengan kaum milenial. Berkeliling kepelbagai tempat ibadah, semisal masjid, gereja dan vihara atau kelenteng yang ada di Jakarta. Apalagi sebagian besar pesertanya adalah generasi milenial dari pelbagai sekolah yang ada di Jakarta. Wisata Bhineka digagas oleh Wisata Kreatif Jakarta / Khairiyah of Indonesia yang didukung Indonesia Untuk Kemanusiaan (IKA). Kali ini Wisata Bhineka Merengkuh kaum Milenial.
Wisata Bhineka / Wisata Rumah Ibadah Lintas Agama yang diikuti Travelounge.co ini melibatkan 170 pelajar dan Guru SMA di kawasan Jakpus dan Jakut. Tujuan dari Wisata ini adalah untuk meperkuat rasa Kebhinekaan Indonesia di kalangan generasi millenial dan pendidik. Tentu saja melalui cara yang rileks, yaitu dengan cara berwisata kepelbagai rumah rumah ibadah sekaligus berinteraksi untuk lebih mengenal penganut agama yang berbeda.
Selain itu kegiatan ini juga dimaksudkan agar para Siswa dan kalangan pendidik memahami sejarah dengan cara menyenangkan sambil belajar banyak hal dari lingkungan sekitar tempatnya bersekolah sehari hari. “Sekolah yang diundang di kegiatan ini sebagian besar adalah sekolah dengan basis agama (Islam, Protestan, Katolik) dan juga sekolah umum yang berlokasi di dua kawasan tersebut,” jelas Ira Lathief dari Wisata Kreatif.
Wisata ini terbagi atas dua hari kegiatan. Pada Rabu 16 Januari di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Meeting point di Gereja Kristen Jawa). Lalu pada Kamis 17 Januari dikawasan Gambir, Jakpus dengan meeting point Gereja Immanuel.
Tempat tempat yg dikunjungi untuk Rute Cilincing /Rabu 16 Januari adalah Gereja Kristen Jawa yang masih menggunakan Musik Gamelan dalam tiap ibadah. Lalu Mesjid Al Alam yg sudah berusia 400 th, Wihara Lalitavistara yang sudah berusia 4 abad, dan Pura Segara yang merupakan satu satunya pura di Jabotabek yang ketaknya di tepi laut.
Sedangkan tempat tempat yang dikunjungi dlm Rute Gambir /Kamis 17 Januari adalah Gereja Immanuel dan Gereja Katedral yg sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Berlanjut ke Masjid Istiqlal yang merupakan Mesjid terbesar di Asia Tenggara. Wisata diakhiri di Klenteng Sin Tek Bio yang sudah berusia lebih dari 4 abad.
Di kawasan Gambir peserta menyambangi Gereja Immanuel. Pembangunan Gereja Immanuel sendiri dimulai tahun 1834 dengan mengikuti hasil rancangan J.H. Horst dan pada 24 Agustus 1839 pembangunan berhasil diselesaikan. Diresmikan menjadi gereja untuk menghormati Raja Willem I, raja Belanda pada periode 1813-1840. Pada gedung gereja dicantumkan nama Willemskerk.
Gereja bergaya klasisisme itu bercorak bundar di atas fondasi tiga meter. Bagian depan menghadap Stasiun Gambir. Di bagian ini terlihat jelas serambi persegi empat dengan pilar-pilar paladian yang menopang balok mendatar. Paladinisme adalah gaya klasisisme abad ke-18 di Inggris yang menekan simetri dan perbandingan harmonis.
Puas menikmati keindahan Gereja Immanuel, peserta di ajak meluruk Gereja Katedral di kawasan Lapangan Banteng. Gereja Katedral merupakan salah satu bangunan cagar budaya yang ada di Jakarta. Pembangunan Gereja Katedral dimulai ketika Paus Pius VII mengangkat pastor Nelissen sebagi prefek apostik Hindia Belanda pada 1807.
Secara umum bangunan Gereja Katedral berciri Eropa dengan gaya neo gotik. Dibangun oleh arsitek bernama Ir MJ Hulswit, bangunan Gereja Katedral dilengkapi daun pintu yang menjulang tinggi dan banyak jendela. Jendela-jendela tersebut dihiasi dengan lukisan yang menjelaskan tentang peristiwa jalan salib yang pernah dialami oleh Yesus Kristus.
Di sebrang Gereja Khatedral berdiri kokoh Masjid Istiqlal, kebanggaan umat muslim Indonesia yang juga jadi masjid terbesar di Asia Tenggara. Sebagai rasa syukur atas kemerdekaan yang diperoleh republik Indonesia masjid Istiqlal dapat kita artikan Merdeka. Ide awal pembangunan masjid ini ialah dari bapak. KH. Wahid hasyim (menteri agama tahun 1950) dan bapak Anwar Cokroaminoto. Tahun 1953 dibentuk lah pantia pembangunan masjid Istiqlal yang diketuai oleh Bapak. Anwar Cokroaminoto dan menyampaikan rencana pembangunan masjid pada Ir. Soekarno. Gagasan di sambut hangat dan mendapat bantuan sepenuhnya dari presiden.
Tahun 1955 diadakan sayembara membuat gambar dan maket pembangunan masjid Istiqal. Diikuti oleh 30 orang dan terpilih Arsitek F Silaban sebagai pemenang. Lalu pada tahun 1961 diadakan penanaman tiang pancang pertama pembangunan masjid Istiqlal. 17 tahun kemudian bangunan masjid selesai dibangun, dan penggunaannya dilakukan sejak tanggal 22 Februari 1978. Pembangunan majid ini didanai dengan APBN sebanyak 7.000.000.000 dan 12.000.000 US. Luas tanah areal masjid Istiqlal ialah 9.3 hektar. Lokasi pembangunan gedung ialah seluas 2,5 hektar terdiri dari; gedung Induk/Utama dan balkon bertingkat lima luasnya 1 hektar, bangunan teras 1,5 hektar, Areal parkir luasnya 3,35 Hektar, Pertamaan dan air mancur seluas 3,47 hektar.
Dari Masjid Istiqlal, anak milenial ini berombongan menuju Kelenteng Sin Tek Bio atau disebut juga Vihara Dharma Jaya di kawasan Pasar Baru. Vihara ini di bangun pada 1698 oleh para petani Tionghoa yang tinggal di sekitar kebun Cornelis Chastelein (sekarang Lapangan Banteng) untuk menjalankan ibadah dan kebudayaannya. Jika dahulu kelenteng kecil ini berada di tengah hutan perkebunan, maka saat ini posisinya terhimpit di dalam gang kecil di tengah pasar. Gang kecil yang kiri kanannya dipadati dengan barang dagangan, satu-satunya akses menuju Vihara Dharma Jaya dari Pasar Baru.
Memasuki vihara beragam patung memenuhi tempat ini. Sebuah patung kayu mengenakan sorban dengan sikap berdoa memangku kitab suci. Di depannya terpampang tulisan Ta Ol Lao Shi (Kyai Zakaria II atau akrab dengan sebutan Eyang Djugo), sedang di sisi kirinya menggantung pigura berisi gambar yang mulai buram dengan tulisan samar-samar terbaca Raden Mas Imam.
Selain 4 rumah ibadah tadi, sebelumnya peserta pun mendatangi Mesjid Al Alam yg sudah berusia 400 th. Masjid Al Alam di Jalan Marunda Kelapa No 1, Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Masjid yang berdiri sejak abad ke-16 menyimpan sejumlah kisah menarik baik dari sejarah hingga muasal namanya. Tak ada yang mengetahui pasti sejarah berdirinya Masjid Al-Alam di Marunda, karena cerita itu hanya dituturkan dari mulut ke mulut dan tak terdokumentasi dalam bentuk tulisan.
Hingga kini, iterior serta konsep bangunan Masjid Al Alam belum pernah mengalami renovasi sedikit pun sejak berdiri abada ke-16. Meski renovasi belum pernah dilakukan perawatan rutin terus dilakukan seperti mengecat tembok dan kayu-kayu bangunan masjid. Nah, selain itu peserta juga mendatangi Wihara Lalitavistara yang sudah berusia 4 abad, dan Pura Segara yang merupakan satu satunya pura di Jabotabek yang ketaknya di tepi laut.
Menurut Ira Lathief, kegiatan ini digagas melalui Kegiatan Wisata Bhineka yang sudah rutin diadakan oleh Wisata Kreatif Jakarta sejak awal tahun 2017 untuk publik dan merupakan tur yang berbayar. Dan ini adalah untuk pertamakalinya Wisata Bhineka ini melibatkan ratusan pelajar dan pendidik yang diundang secara gratis.
Para pelajar yang ikut nampak begitu antusias mengikiti rangkaian Wisata Bhineka. Mereka seolah memasuki atmosphere baru yang selama ini belum mereka selami.
“Sejujurnya saya gak pernah dapat wawasan sebesar ini dalam kegiatan sebelumnya. Dengan wisata ini saya jadi lebih tau kalau kebhinekaan itu keren banget,” ungkap Joane, siswi SMKN 1
Hal senada juga diungkap Nada, remaja cantik yang jadi peserta Wisata Bhineka. ” Keren banget acara kayak gini. Belajar sambil tur sangat mengasikan. Keren abis deeh. Pokoknya saya sangat mendukung acara seperti ini dilaksanakan. Saya mau ikut lagi kok,” tandas Nada sambil menebar senyum manis.
Nada, yang juga siswi SMKN 1 berharap kegiatan itu juga bisa dilaksanakan diseluruh Indonesia.”Generasi milenial harus kokoh dengan landasan kebhinekaannya,” pungkas Nada.
Ismail Sidik