TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA – Di zaman now, ada yang patut dicermati, yakni trend pariwisata minat khusus sebagaimana yang digalakan Kementrian Pariwisata. Nah, hal inilah mendorong tumbuh dan berkembangnya beberapa desa wisata budaya yang keren. Hiburan yang tidak terlepas dari akar budaya.
Keberadaan desa wisata wayang kulit sebagai destinasi wisata minat khusus dapat nenjadi komoditas pariwisata Indonesia. Contohnya Desa Wisata Wayang Kulit Pucung, Kabupaten Bantul (DIY), Desa Wisata Wayang Kulit Gendeng, Kabupaten Bantul (DIY) dan dan Desa Wisata Wayang Kulit Kepuhsari, Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah. Secara umum desa wisata wayang kulit sebagai destinasi wisata minat khusus sangat berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Karena itu dibutuhkan peran serta aktif dari berbagai pihak terutama masyarakat desa wisata budaya setempat untuk dapat mengembangakan potensi desa wisata budaya.
Selain itu destinasi budaya bisa juga didapati dengan meyambangi gedung pertunjukan wayang semisal Museum Negeri Senobudoyo, Yogyakarta, WO Bharata, Senen, Jakarta Pusat, Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki dan tentu saja TMII yang juga sering menggelar pementasan wayang. Belum lagi pergelaran wayang dipelbagai instansi dan kampung kampung mengingat Pepadi saja punya 22 cabang di Indonesia.
Wayang pernah menggenggam kesuksesan kejayaan dunia hiburan dan bahkan mungkin spiritual di Indonesia. Wayang pernah menjadi bagian dari perjalanan peradaban dan kekuatan spiritual di Nusantara.
Di zaman now ada beberapa pedalang yang sangat kondang di benak penikmatnya, seperti
Ki Nartosabdo. Ia adalah seorang seniman musik dan dalang wayang kulit legendaris dari Jawa Tengah, Indonesia. Nama asli Ki Nartosabdo adalah Soenarto. Merupakan putra seorang perajin sarung keris bernama Partinoyo.
Ki Nartosabdo dapat dikatakan sebagai pembaharu dunia pedalangan di tahun 80-an. Gebrakannya dalam memasukkan gending-gending ciptaannya membuat banyak dalang senior yang memojokkannya.
Baca Juga: Wayang Ajen, Wayangnya Zaman Now Ala Garut
Lalu ada Ki Anom Suroto. Ia adalah seorang dalang Wayang Kulit Purwa san mulai terkenal sebagai dalang sejak sekitar tahun 1975-an. Ia lahir di Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu Legi 11 Agustus 1948. Ilmu pedalangan dipelajarinya sejak umur 12 tahun dari ayahnya sendiri, Ki Sadiyun Harjadarsana. Selain itu secara langsung dan tak langsung ia banyak belajar dari Ki Nartasabdo dan beberapa dalang senior lainnya.
Nama berikutnya adalah Asep Sunandar Sunarya yang lebih dikenal dengan panggilan Asep Sunarya, adalah dalang wayang golek yang menciptakan si Cepot. Wayang yang rahang bawahnya bisa digerak-gerakkan jika berbicara, juga dapat merentangkan busur dan melepaskan anak panah, tanpa bantuan tangan dalang. Dengan karyanya itu, dia pantas disebut sebagai pendobrak jagat wayang golek di Indonesia.
Ini yang tidak kalah ngetop, nyentrik dan kontroversialnya, Ki Slamet Gundono. Hingga akhir hayatnya pria bertubuh tambun ini dikenal sebagai dalang kontroversial wayang suket.
Gundono dilahirkan dari keluarga dalang di Tegal Jawa Tengah. Masa kecil Gundono dihabiskan di kampung halaman dengan menjadi siswa pesantren. Selepas SMA Gundono sempat menimba ilmu di Jurusan Teater di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Gundono mulai berkiprah sebagai dalang dan seniman kreatif sejak 1995. Sosoknya yang selalu kritis sempat menggegerkan dunia pewayangan.
Belum lagi dalang bule semisal Urban Wahlstedt, dalang berkebangsaan Swedia yang pernah menggelar pegelaran wayang kulit terbesar di Stocklom, Swedia. Lalu Professor. Matthew Isaac Cohen, pria berkebangsaan Amerika Serikat yang sangat fasih ketika harus duduk di depan layar dan menjadi dalang.
Ada juga pedalang cantik Helen Pausacker. Perempuan asal Australia ini sudah mempelajari seni wayang lebih dari 40 tahun lamanya. Dia begitu jatuh cinta terhadap seni tradisional satu ini dan akhirnya memutuskan untuk belajar sekaligus mendalami serta menjadi dalang professional.
Nah, mereka adalah sebagian dari pedalang yang bisa menjadi magnet pertunjukan wayang itu sendiri. Wayang adalah kearifan bangsa. Sementara para dalang adalah empu-empu kehidupan manusia.
“Karenanya jika masyarakat kini direbut perhatiannya oleh media sosial dan teknologi informasi, saatnya kita merebut kembali media sosial dengan wayang.” tandas M. Sobary.
Caranya, lanjut Sobary, harus meningkatkan jumlah produksi dan inovasi konten wayang dengan memanfaatkan teknologi informasi. Sehingga generasi masa depan tak akan kehilangan pemahaman tentang filosofis wayang yang luhur sebagai kearifan bangsa kewat media di zamannya.
Sedangkan menurut Kondang Sutrisno, SE, selaku Ketua Umum PEPADI, sosok dalang dalam menjalankan tugasnya tetap berpedoman pada Panca Darma Dalang, yang meminta dalang berperan sebagai moral agent.
“Sosok dalang di masa yang akan datang, tidak hanya memiliki suara dan perform yang bagus, mereka juga dituntut pula memiliki konsep pertunjukan dengan kreativitas tinggi. Dan pandai memasukkan unsur-unsur kekinian ke dalam pagelaran wayang,” ujar Kondang.
Ismail Sidik