TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA, 28 Oktober 2018 – Lesatan Informasi Teknologi (IT) yang salah satunya membidani brojolnya media sosial (medsos) adalah keniscayaan yang tak terelakan. Melawannya hampir muskil dan lebih merupa kesia-siaan. Tapi disisi lain, mencerap tanpa filter semua produk medsos sejatinya juga akan menghancurkan budaya — bukan suatu yang muskil menghancurkan suatu peradaban — suatu negeri hingga pada akhirnya, hanya ada satu peradaban, yakni peradaban medsos. Karena itu membangun kantong budaya menjadi penting.
“Karena itu kita harus bijak menyikapinya. Menerima arus perubahan itu dengan menyaringnya melalui perangkat aqidah dan budaya adiluhung kita,” tandas Dheyna Hasiholan, pemerhati budaya dan teater Indonesia dalam perbincangannya dengan wartawan di Ground 57, Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jum’at (26/10/2018).
Sebab itu Dheyna Hasiholan atau yang akrab dipanggil Dylan, berkeinginan membuat kantong budaya seperti yang ia lakukan pada tahun 90-an di lingkungan UI dan sekitarnya. Menjadi tempat kongkow dan berbicang bebas soal seni dan budaya Indonesia.
Nah, berangkat dari kiprah masa lalau, saat ini Dylan berencana membuat Kedai Kopi sebagai sarana berkumpulnya para pegiat seni di sekitar Purbalingga, Kebumen dan Banjarnegara. Kedai ini diharapkan bisa menjadi sarana untuk terjalinnya tali silaturahim sesama pegiat seni. Sekaligus juga bisa melahirkan kegiatan kegiatan berkesenian yang terjaga rutinitasnya. Minimal Kedai Kopi ini bisa menjadi media apresiasi bagi pegiat seni di daerah tersebut.
Dylan aktif di dunia teater sejak masih kuliah. Jadi tidak mengherankan jika perhatiannya akan dunia teater sangat besar. Dylan banyak menghabiskan waktu di tempat-tempat berkumpulnya para pegiat seni. Di sana dia berdiskusi dan bertumbuh. Baik secara intelektual maupun secara jaringan.
Di era 90an, Dylan pernah membuat sebuah warnet dengan harga sewa termurah se Indonesia. Sejak awal warnet itu memang tidak di seting untuk berbisnis. Tapi memang sengaja di create untuk tempat berkumpul. Mungkin karena murahnya warnet itu tak pernah sepi. Tak hanya itu, Dylan dan beberapa teman juga membuat sebuah komunitas unik yang dinamakan Cak Tarno Insititut.
Cak Tarno Institut adalah komunitas yang ada di penjual buku bernama Cak Tarno. Salah satu kegiatan komunitas ini adalah ‘menguji’ skripsi anggota komunitas dengan diskusi secara bebas. Jika skripsi anggota itu ‘lulus’ di Cak Tarno Institut maka kemungkinan besar juga akan lulus di ujian sebenarnya. Komunitas ini pun sudah ‘menghasilkan’ sekitar 30 doktor dan banyak lagi lulusan S1 di UI.
Dan sekarang ini aktifis pelbagai organisas ini menggagas lahir #Teman Dylan. “#Teman Dylan adalah suatu tawaran sekaligus juga solusi. Ini adalah wujud untuk mewadahi gerak kreasi dan kreativitas pemuda milenial. seni-budaya. Jadi #Teman Dylan bukan sekedar icon kedekatan hubungan personal orang per orang semata. Tetapi ini juga adalah kolabarasi ide kreasi dan kreativitas lintas latar belakang untuk mengakselarasi pemberdayaan potensi masyarakat dari berbagai komunitas. Baik itu komunitas seni budaya dan sebagainya,” papar Dylan lagi.
Lanjut Dylan, #Teman Dylan adalah suatu tawaran embrio baru kolaborasi antar komunitas berbasis lokal. Diharapkan bisa menginspirasi kolaborasi antar komunitas di level yg lebih luas. Bahkan #Teman Dylan diharapkan menjadi motor kemajuan seni budaya di Banjarnegara, Kebumen dan Purbalingga,” tambahnya.
Selain menjadi pemerhati budaya, Dylan juga seorang politisi yang sejak zaman kuliah dulu cukup aktif di berbagai organisasi mahasiswa yang ada di UI, seperti Senat Mahasiswa, Koperasi Mahasiswa, Resimen Mahasiswa dan Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia.
Ismail Sidik