TRAVELOUNGE.CO | JAKARTA – Nilai ekspor produk farmasi dari perusahaan anggota holding BUMN Farmasi, PT Phapros Tbk, disasar untuk tumbuh dobel digit. Diperkirakan pada tahun 2023, ini pertumbuhannya akan mencapai lebih dari 15 persen dengan menyasar negara-negara Asia dan Amerika Selatan seperti Peru, Filipina dan Kamboja. [1]
Menurut Direktur Utama PT Phapros Tbk Hadi Kardoko, pasar ekspor masih terbuka cukup lebar bagi produk seperti multivitamin, antibiotik, anti analgesik, produk untuk menyamankan perjalanan, antialergi hingga antituberkulosis.
“Ini belum termasuk produk-produk obat dari kelas terapi lainnya serta alat kesehatan yang Phapros produksi bekerjasama dengan riset mitra-mitra universitas. Kami optimis bisa meningkatkan growth net sales di akhir 2023 karena masih banyak negara-negara lain yang akan menjadi target Phapros,” tuturnya saat dihubungi di Jakarta (19/2).
Menurut Hadi, kue pasar ekspor produk farmasi di negara Asia dan Afrika masih sangat luas. Phapros sangat agresif memperluas pasar ke negara lain agar kontribusi perusahaan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional bisa lebih meningkat. Dari data Kementrian Perindustrian, industri farmasi menyumbang 4,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
“Saat ini kami sedang menjajaki pasar Nigeria, dan nantinya mulai melebar ke negara-negara Afrika lainnya.”
Senada dengan itu, pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto mengungkapkan, pasar farmasi dan alat kesehatan Asia secara umum cukup besar. Di Indonesia sendiri, ungkapnya, pasar farmasi pada tahun 2019 bernilai 80 Triliun dan belum ditambah alkes.
BACA JUGA :
- New Corolla Cross GR Tongkrongannya Anak Muda Banget
- Kedubes Republik Ceko Pamerkan Keindahan Negara Seribu Kastil
“Pasar utama produk farmasi dan alkes Indonesia adalah di Asia Tenggara dan Afrika jika melihat laporan beberapa emiten farmasi. Ini di luar produk herbal yang sudah masuk ke pasar Taiwan dan Tiongkok. Bahkan ada juga produk vaksin kita yang diekspor ke negara lain,” tuturnya.
Menurutnya, Phapros harus memperhatikan cost structure yang efisien agar harga jual ekspor juga bersaing. Termasuk juga pembeda produk yang dijual dibandingkan kompetitor sehingga potensi bertumbuhnya juga besar.
“Daya saing ekspor ditentukan oleh pricing dan diferensiasi produk. Semakin baik prospek perusahaan, yang ditunjukkan dengan meningkatnya penjualan dan keuntungan, maka kepercayaan investor pun semakin meningkat,” ungkapnya.
Berdasarkan data dari United Nations Conference on Trade and Development, ekspor produk obat dan farmasi Indonesia dilaporkan sebesar USD 130,395.780 USD pada 2021. Rekor ini naik dibanding sebelumnya yaitu USD 100,826.464 untuk 2020. Ekspor tahunan rata-rata USD 116,605.830 dari 2003 sampai 2021 dengan 19 observasi. (RM)