Jejak Asa Sang Dewi 3, Pencarian Tanpa Batas Dari Sebuah Kesadaran

Travelounge

TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA – Rumah adalah tempat melahirkan,  identitas, jatidiri, legitimasi hidup, yang menyimpan sejarah dan nubuat manusia. Rumah adalah ruang pencarian tanpa batas dari sebuah kesadaran.

Itulah hakekat dari  dramatari Jejak  Asa Sang Dewi Sri  besutan  Dewi Sulastri. Pertunjukan ini akan digelar di Teater Besar – Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta, Sabtu (21/04/2018), pukul 20.00 WIB. Karya ini memberi deskripsi tentang  rumah. Konstruksi nilai-nilai, simbol kosmologi Jawa. Tentang kerinduannya melahirkan generasi anak zaman.

Untuk itu, Sang Dewi Sri bersedia menanggung beban di punggung, melewati jarak dan mimpi. Melewati semak belukar, titian panjang. Namun Rumah masih menjadi angan yang sunyi; penuh penantian. Setidaknya hal ini juga  yang dirasakan Dewi Sulastri dalam jejak keseniannya.

“Menari tradisi  membutuhkan ketekunan, dan cinta terhadap budaya itu sendiri,”  tandas Dewi Sulastri, saat ditemui di Sanggar Swargaloka, Cilangkap, Jakarta Timur, Sabtu (08/04/2018).

Dewi Sulastri mengakui saat ini menghadapi kelangkaan regenerasi, khususnya seniman tradisi yang memiliki kemampuan berakting, menari, sekaligus menyanyi. Memang  tiga kompetensi ini menjadi prasyarat untuk menjadi seorang begawan seni tradisi yang dedikatif.

“Terus terang muncul beragam kekhawatiran. Karena tuntutan yang sedemikian tinggi, tak banyak generasi penari muda yang tekun dan sabar berproses,”  lanjutnya.

Drama tari Jejak Asa Sang Dewi 3 setidaknya menjadi media ungkap Dewi Sulastri, dimana semua kegelisahan kreatifnya tertumpah. Pergelaran bertajuk serupa sebelumnya pernah dua kali dipentaskan, di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Minggu 19 Juni 2011, dan Jum’at 28 Juni 2013.

Jejak Asa Sang Dewi bagai kehendak yang terkubur. Sebuah perasaan, kerinduan, dan kecemasan. Representasi seni klasik, seni rakyat, tradisionil dengan sentuhan kontemporer. Filosofi gerak membetuk ekspresi nostalgia, yang terkolaborasi dengan apik menjadi ekspresi utuh.

Jejak Asa Sang Dewi adalah metafora dan kesadaran rumah. Pragmen dari keluarga seniman tari untuk bercerita dan bercermin pada hari-hari mereka yang sesak dengan mimpi-mimpi. Memberi imaji bahwa seni ini (tari tradisi) akan hidup lebih lama. Membuka kesadaran manusia dan kemudian menentukan nilai-nilai hidup.

“Bagi saya tradisi adalah sumber inspirasi untuk selalu berkarya. Meneruskan kelestariannya. Lestari bukan sesuatu yang berhenti. Tetapi bernafas. Bahkan bergolak. Namun tak tercabut dari akarnya,” kata Dewi.

Jejak Asa Sang Dewi melibatkan tak kurang dari 150 orang seniman panggung, pengrawit, penari dan penyanyi. Dewi Sulastri akan tampil berkolaborasi dengan kedua anaknya, Bathara Saverigadi Dewandoro, dan Bathari Putri.

Penampilan ketiganya akan diperkuat aktor panggung Ali Marsudi, dan Denta Sepdwiansyah. Sementara Bathara Saverigadi Dewandoro, merangkap sebagai Sutradara, Penata Tari dan Penulis Cerita.

Didukung Dedek Wahyudi dan Gregorian Christ sebagai komposer, dengan iringan Dedek Gamelan Orchestra. Penata Artis Irwan Riyadi, Penata Kostum Yani Wulandari, dan Suryandoro sebagai Produser. Pertunjukan ini tak berbayar (gratis) dengan penonton undangan yang selektif.

Jejak Asa Sang Dewi adalah refleksi dan gagasan dari beragam pengalaman berkesenian Dewi Sulastri selama bertahun-tahun. Diawali dari kesadarannya berkesenian sejak belajar nembang (menyanyi) ketika duduk di bangku pelajar kelas lima Sekolah Dasar (SD), di tanah kelahirannya Jepara.

Antusiasme ini lalu dikembangkannya hingga tingkatan studi berikutnya, yaitu  Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Negeri Surakarta Jurusan Tari, dan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Seniman kelahiran Jepara, 15 Maret 1966 ini sudah mencipta belasan tari dan menggelar puluhan pergelaran seni. Beberapa karyanya adalah; Tari Srimpi Retno Utama tahun 1989, Tari Merak Mangigel tahun 1989, Tari Bondan Suko Asih tahun 1989, Tari Prajuritan tahun 1989, Tari Domba Nino Banyumasan tahun 1989, Tari Bedaya Dewi Sri tahun 2003, Tari Bedoyo Aji Soko tahun 2008, Tari Bedoyo Tri Sabdo Tunggal Indonesia Tahun 2009, Tari Bedoyo Merah Putih tahun 2009, Opera Sejarah Senopati Pamungkas tahun 2009, dan The Indonesian Opera Drama Wayang Swargaloka Tahun 2006, dan The Indonesian Opera Drama Wayang Swargaloka, yang hingga saat ini eksis dan terus dikembangkan.

Beberapa prestasi yang pernah diraih meliputi; Sutradara Terbaik Festival WOPA (Wayang Orang Panggung) se-Indonesia ke I Tahun 1987, Pemeran Terbaik Wanita Festival WOPA se-Indonesia II, III dan IV Tahun 1988 – 1989 1990, Penari Bambangan Terbaik Lomba Tari Tradisi se-Jawa Tengah Tahun 1987, peraih Rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) Tahun 2008 Sebagai Sutradara dan Penari Wayang Orang yang semua Pelakonnya Perempuan, dan Penata Tari Terbaik Festival Sendratari Tingkat Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1990.

Ismail Sidik

Berbagi: