Konser Karawitan Anak Indonesia 2018, Tanamkan Rasa Seni pada Anak Sejak Dini

TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA, 31 Oktober 2013 – Beberapa waktu lalu di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (GBB-TIM) Jakarta, selama tiga hari, (Kamis s/d Sabtu, 25 – 27 Oktober 2018) berlangsung ‘Konser Karawitan Anak Indonesia 2018’. Perhelatan ini diikuti 31 grup mewakili 31 provinsi di Indonesia.

Apresiasi musik untuk anak yang diikuti 31 provinsi ini melibatkan ratusan peserta yang sebagian besar anak usia 5 hingga 12 tahun. Mereka didampingi para instruktur, pimpinan sanggar, penata musik, dan sebagian orangtua yang mendampingi.

Mereka terpilih melalui proses seleksi ’Open Call’. Pola seleksi seperti ini, menurut Restu, lebih memungkinkan penyelenggara mendapatkan peserta berkualitas. Sebelumnya mereka diberi pelatihan melalui lokakarya.

“Konser karawitan ini menjadi ruang pertemuan bagi mereka dengan publik, pengamat musik, dan para pelaku seni lain. Selain diberi ruang untuk tampil, mereka dapat bertukar pengalaman, membangun jaringan, dan kerjasama yang lebih produktif,” terang Restu, selaku Penanggung Jawab program tahunan yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI ini.

Sejatinya kesenian tradisi dapat menjadi sarana untuk menanamkan rasa bagi anak-anak. Kesenian dapat membantu memberi rasa identitas kepada mereka. Anak tidak hanya mengenal identitas (budaya) di mana dia menetap, tapi juga dari berbagai daerah lainnya.

Bermain musik bagi anak-anak adalah hal menyenangkan. Melalui pengalaman keindahan musikal berbasis seni tradisi mereka dapat menyadari jatidiri. “Secara tidak langsung mereka dapat mengidentifikasi berbagai elemen penting budaya lokal,” ujar Direktur Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Dr. Restu Gunawan, M.Hum, kala q penutupan acara.

Baca Juga: Parade Busana Daerah ke-10, Ternyata Bahan Limbah Bisa Mempesona

Lebih dalam menurut Restu, pentingnya menguatkan jatidiri dan karakter pada anak. Pembangunan karakter merupakan usaha sadar, terarah, dan sistematis. Main musik bagi anak-anak adalah ruang bagi mereka untuk mengembangkan karakter. “Antara lain kesediaan bekerjasama, mudah berinteraksi, mengasah kehalusan budi pekerti, menumbuhkan rasa tanggung jawab, dan sifat pemberani. Selain itu, bagian dari pengembangan pendidikan imajinasi,” ujarnya.

Pada kesempatan lain, salah satu juri pengamat, Jabatin Bangun, menegaskan tentang pengertian festival yang kerap disalah artikan. Festival disamakan dengan lomba, layaknya kompetisi dalam olahraga.

“Festival bukan lomba. Makanya kami bukan juri, tetapi pengamat. Di kesenian kita bisa main bareng berkolaborasi bersama di pangung, merangkul yang lain. Kesenian itu dipersandingkan, bukan dipertandingkan,” ujar Jabatin, dalam sesi evaluasi, yang berlangsung di Oasis Amir Hotel, Jakarta.

Melalui Forum Musisi dan Komposer Karawitan Indonesia, para juri pengamat yang terdiri dari, *Bens Leo, Embie C. Noer, Gilang Ramadhan, Jabatin Bangun*, dan *Suhendi Afryanto*, merekomendasikan tentang perlunya, Negara memberi apresiasi, pada seniman dan atau budayawan dalam kerangka pembangunan kebudayaan, baik di tingkat Daerah maupun Nasional.

“Ada regulasi yang mengatur berbagai kegiatan seni karawitan dan atau musik Daerah yang ditujukan pada pelaku seni, bukan pada birokrat. Memfasilitasi para maestro seni yang tersebar di sejumlah daerah secara berkala. Mulai dari Pemerintah Pusat, Provinsi, sampai Kabupaten Kota. Bila memungkinkan para maestro tersebut diangkat menjadi Anak Negara,” ujar Jabatin mewakili juri pengamat lainnya.

Ismail Sidik