Ini Langkah Utama Untuk Jadikan Wisata Berkelanjutan

Travelounge

TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA – Kemudahan memilih perjalanan yang ramah lingkungan (eco-friendly) dan berkelanjutan, membatasi penggunaan produk plastik sekali pakai dan memberikan insentif finansial kepada penyedia jasa akomodasi yang memaksimalkan penghematan energi adalah tiga langkah utama yang harus dilakukan untuk menjadikan wisata jadi lebih berkelanjutan. Inilah hasil Survei Tren Wisata Keberlanjutan dari Agoda.

Membuat lebih banyak kawasan terlindungi (protected areas) untuk membatasi jumlah pengunjung dan meniadakan penggunaan perlengkapan mandi sekali pakai adalah dua langkah utama lainnya.

Temuan dari survei yang diluncurkan untuk menandai Hari Lingkungan Dunia 2021 (5 Juni) ini juga mengungkap bahwa pariwisata yang berlebihan (overtourism), serta pencemaran pantai dan jalan air (waterway) adalah dua kekhawatiran utama dari dampak pariwisata, dengan deforestasi dan pemborosan energi (termasuk pemakaian listrik/air yang berlebihan) di posisi ketiga.

Di seluruh dunia, orang menganggap pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk membuat perubahan positif terhadap lingkungan di bidang pariwisata, diikuti oleh otoritas pariwisata dan perseorangan masing-masing. Dalam hal menuntut pertanggungjawaban dari pemerintah, Indonesia dan Inggris (UK) paling banyak melakukannya (36%), diikuti China dengan 33%, serta Australia (28%) dan Malaysia (27%) berada di urutan keempat dan kelima.

Negara-negara yang paling mungkin menunjuk diri sendiri sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mewujudkan wisata berkelanjutan adalah Thailand (30%), Jepang (29%) dan Amerika Serikat (28%). Sementara China (11%), Inggris (13%) dan Vietnam (14%) adalah negara-negara dengan kemungkinan terkecil untuk menempatkan tanggung jawab tersebut kepada perseorangan atau individu.

Menjawab pertanyaan apa yang mereka lakukan lebih baik lagi (pledge to do better) dalam skenario wisata pasca-COVID, jawaban tertinggi secara global adalah #1 mengelola sampah mereka, termasuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, #2 mematikan AC dan lampu ketika meninggalkan akomodasi, dan #3 selalu mencari akomodasi ramah lingkungan. Menariknya, walaupun overtourism menjadi kekhawatiran terbesar, pergi ke destinasi yang jarang dikunjungi hanya berada di posisi ketujuh dari sepuluh hal yang akan mereka lakukan dengan lebih baik.
Tidak ada keberlanjutan yang bersifat ‘satu untuk semua’.

Sementara itu, praktik-praktik yang dikaitkan dengan wisata ramah lingkungan atau berkelanjutan adalah #1 sumber energi dan sumber daya terbarukan, seperti tenaga matahari, angin, hidroelektrik dan air, #2 tidak menggunakan plastik sekali pakai, kemudian #3 konservasi hewan dan meninggalkan jejak karbon yang lebih kecil.

Solusi penghematan energi lain seperti kartu kunci, atau sensor gerak, menggunakan produk pembersih natural adalah praktik penting lainnya. Menariknya, membeli produk lokal, menggunakan kembali seprei atau handuk selama liburan, dan mengunjungi lokasi terpencil adalah tiga terbawah dari 10 langkah yang dikaitkan dengan wisata berkelanjutan.

“Dari Survei Tren Wisata Berkelanjutan oleh Agoda terlihat bahwa pesan-pesan seperti melakukan langkah sederhana mematikan lampu dan AC saat meninggalkan ruangan atau mengurangi sampah dengan meminimalkan penggunaan plastik sekali pakai, diterima oleh masyarakat di seluruh dunia. Hal lain yang juga terlihat jelas adalah walaupun pesan secara global bahwa pemerintah harus menjadi pemimpin dalam pengelolaan wisata berkelanjutan, ada tanggung jawab pada perilaku orang-orang itu sendiri,” jelas John Brown, CEO Agoda.

COVID berdampak negatif pada sikap mengenai wisata berkelanjutan
Meningkatnya keinginan berwisata yang lebih berkelanjutan paling terlihat pada responden dari negara Korea Selatan (35%), India (31%) dan Taiwan (31%). Bila dilihat secara global, hanya 25% responden dengan keinginan semakin besar untuk berwisata lebih berkelanjutan, bandingkan dengan 35% yang keinginannya menurun. Negara-negara yang melaporkan proporsional penurunan terbesar adalah Indonesia (56%), Thailand (51%) dan Filipina (50%).

“Mengkhawatirkan saat melihat banyak orang menganggap wisata berkelanjutan menjadi kurang penting dibandingkan sebelum pandemi COVID-19, namun saya harap ini hanya efek jangka pendek, yang disebabkan keinginan besar orang-orang untuk kembali ke luar sana dan bepergian dengan cara yang mereka inginkan,” rangkum John Brown.

BACA JUGA: Menikmati Nuansa Rock, Etnik, Budaya di Barakarama Project

Menyelami data dengan lebih jauh Langkah-langkah tambahan:
•Meskipun pilihan untuk mewajibkan wisatawan membayar biaya carbon off-setting sebagai langkah untuk menjadikan wisata lebih berkelanjutan paling sedikit dipilih, responden dari India kemungkinan besar mendukung konsep ini, dibandingkan China sebagai negara yang paling tidak mungkin melakukannya, diikuti Amerika Serikat dan Taiwan.
•Taiwan, Singapura, Thailand, China dan Australia adalah negara yang paling mungkin menyarankan insentif keuangan untuk penyedia akomodasi yang memaksimalkan penghematan energi.
•Jepang adalah negara dengan kemungkinan terkecil untuk merekomendasikan area khusus yang membatasi jumlah turis, diikuti Korea Selatan dan Amerika Serikat. Sementara Filipina, Indonesia dan Malaysia adalah negara yang paling mungkin melakukan hal tersebut.
•Inggris (UK) ada di peringkat teratas negara yang paling mungkin mendukung pembatasan penggunaan plastik sekali pakai di penerbangan atau akomodasi, diikuti Australia, Indonesia dan Filipina. Sedangkan China, Taiwan, Amerika Serikat dan Jepang adalah negara yang paling kecil kemungkinannya menyarankan langkah ini.
•Responden Malaysia, Filipina dan Indonesia paling menyukai identifikasi pilihan perjalanan ramah lingkungan atau berkelanjutan seperti menyematkan tag lingkungan di platform perjalanan digital. Meskipun masih menjadi tolok ukur pertama secara global, AS dan Jepang adalah dua negara terbawah untuk identifikasi tersebut
•Meniadakan penggunaan perangkat mandi sekali pakai ternyata juga paling disukai responden Taiwan, Jepang dan Inggris.

Tentang poin tanggung jawab untuk perubahan yang menjadikan perjalanan lebih berkelanjutan:
•Semua generasi memilih pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, kecuali “Silent Gen” (mereka yang lahir sebelum tahun 1946). Mereka memiliki proporsi terbesar dalam pilihan bahwa individu adalah pihak yang paling bertanggung jawab.
•Laki-laki secara marjinal paling mungkin menyebutkan bahwa pemerintah paling bertanggung jawab (28%), diikuti otoritas pariwisata (21%) dan responden itu sendiri (20%). Porsi sama perempuan menyebutkan pemerintah dan otoritas pariwisata adalah pihak yang paling bertanggung jawab (25%), diikuti diri mereka sendiri (19%).

Tentang komitmen untuk perjalanan yang lebih berkelanjutan:
Sepuluh komitmen teratas dunia untuk bepergian dengan lebih berkelanjutan
1.Mengelola sampah selama bepergian (contoh: mengurangi penggunaan plastik sekali pakai)
2.Mematikan AC dan lampu saat meninggalkan ruangan
3.Selalu mencari akomodasi ramah lingkungan
4.Berusaha untuk mengelola jejak karbon (contoh: sebagian besar perjalanan dilakukan dengan menggunakan bis, kereta atau kapal, atau membayar biaya carbon offset)
5.Menggunakan kembali kelengkapan hotel seperti handuk atau seprei
6.Berbelanja di toko lokal atau lebih memilih bisnis mandiri
7.Mengunjungi tempat wisata yang jarang diketahui
8.Memungut sampah saat mengunjungi pantai
9.Menggunakan alat mandi pribadi
10.Menggunakan produk ramah terumbu karang saat mengunjungi pantai

•Filipina, Malaysia dan India adalah negara yang paling besar kemungkinannya mencari akomodasi ramah lingkungan.
•Singapura, Inggris dan Australia adalah negara yang paling mungkin berkomitmen untuk menggunakan kembali peralatan hotel seperti handuk, dan seprei dibandingkan Indonesia, Filipina, China dan Thailand yang paling sedikit kemungkinannya untuk melakukan hal tersebut.
•Indonesia, Filipina, dan Malaysia paling mungkin berkomitmen untuk pergi ke tempat yang kurang dikenali, demi wisata yang lebih berkelanjutan, dibandingkan Jepang, Inggris dan Taiwan yang merupakan negara yang kemungkinannya paling kecil untuk melakukan hal tersebut.
•Mengelola sampah, termasuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai adalah komitmen teratas di semua negara, dengan Korea Selatan, Thailand dan Filipina adalah negara yang paling mungkin melakukan hal ini.
•Walaupun pencemaran di jalur air disebut sebagai keprihatinan nomor dua akibat pariwisata, memungut sampah di pantai hanya menempati posisi #8 dari 10 komitmen untuk berwisata lebih berkelanjutan, dengan hanya 18% responden yang memilihnya.
•Vietnam, Thailand, Indonesia, Filipina dan China adalah negara-negara teratas yang berkomitmen untuk memungut sampah saat mengunjungi pantai. Responden dari Singapura, Taiwan dan Jepang adalah yang paling sedikit kemungkinannya untuk melakukan hal ini.
•Berbelanja lokal ada di posisi #6 dengan responden dari Australia (35%), Inggris (31%) dan AS (28%) yang paling mungkin melakukan ini. Responden dari Jepang (5%), China (9%) dan Taiwan (11%) adalah yang paling sedikit kemungkinannya untuk berbelanja lokal.
•Persentase responden perempuan yang bertekad untuk mengelola sampah lebih tinggi (44% versus 40%) dan mematikan AC/lampu (44% versus 36%) dibandingkan laki-laki.
•Lima tekad terbawah di dunia – menggunakan produk ramah terumbu karang di pantai (14%), meminta pihak hotel untuk tidak menyediakan perlengkapan mandi karena bisa membawa sendiri (17%), memungut sampah saat mengunjungi pantai (18%), pergi ke tempat yang jarang dikunjungi (19%) dan berbelanja lokal (21%).
•Walaupun 3 tekad teratas perempuan dan laki-laki sama, tekad ke-4 perempuan adalah menggunakan kembali perlengkapan hotel, versus laki-laki yang bertekad melakukan aksi yang lebih besar seperti berupaya untuk mengelola jejak karbon.
•Mematikan AC ada di posisi kedua untuk semua kelompok umur, namun lebih sedikit responden di kelompok umur 18-24, 25-34 dan 35-44 tahun (Gen Z dan Millennials) yang bertekad melakukannya dibandingkan dengan responden 45 tahun ke atas.
•Responden dari Singapura adalah yang paling mungkin untuk memilih mematikan AC dan lampu saat meninggalkan ruangan, mengelola sampah termasuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan menggunakan kembali seprei dibandingkan negara-negara lain.
•Filipina (49%), Malaysia (43%) dan India (42%) adalah negara yang paling besar kemungkinannya untuk selalu mencari akomodasi ramah lingkungan saat mereka bepergian setelah pandemi berakhir.
•Sebaliknya, responden Inggris (14%), China (17%), AS (17%), Jepang (18%) dan Korea Selatan (18%) memiliki paling kecil kemungkinan untuk mencari akomodasi ramah lingkungan

Indonesia
•Responden Indonesia memberi perhatian terbesar pada overtourism, diikuti dengan pencemaran pantai dan jalur air, dan penggunaan plastik sekali pakai di akomodasi tujuan wisata
•Indonesia memiliki proporsi responden terbesar dibandingkan semua negara (setara dengan Inggris) yang yakin bahwa pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab di sektor pariwisata, dengan 36% mengindikasikan hal tersebut. Ini diikuti dengan 31% responden yang memilih otoritas pariwisata dan 17% yang menyatakan bahwa mereka sendiri yang memiliki tanggung jawab tersebut
•Mengelola sampah dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, selalu mencari akomodasi ramah lingkungan, dan mematikan AC serta lampu saat meninggalkan kamar adalah tiga komitmen teratas bagi responden Indonesia saat bepergian pasca-COVID
•Tidak menggunakan plastik sekali pakai di akomodasi, mencari akomodasi yang menggunakan energi terbarukan atau sumber air, dan destinasi yang jarang dikunjungi adalah tiga hal utama yang paling membantu responden Indonesia untuk wisata dengan lebih berkelanjutan
•Mengenai praktik yang mereka asosiasikan dengan “wisata berkelanjutan”, sebanyak 41% mengatakan pelestarian hewan dan hal terkait sumber daya terbarukan. Di tempat ketiga, 39% mengaitkan wisata berkelanjutan dengan tidak menggunakan plastik sekali pakai
•Langkah-langkah lain yang disarankan adalah kemudahan mengidentifikasi pilihan perjalanan ramah lingkungan, diikuti dengan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai di akomodasi dan penerbangan, serta membuat kawasan terlindungi (protected areas) untuk membatasi jumlah wisatawan.

(Ismail Sidik Sahib)

Berbagi: