travelounge.co | Jakarta – Beragam budaya yang ada di Indonesia menciptakan pula beragam cara hidup masyarakat. Terutama, masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan sering kali hidup jauh dari teknologi yang biasa kita sebut sebagai “kearifan lokal”. Kasepuhan Ciptagelar menjadi salah satu kelompok masyarakat yang sukses meski hidup dengan kearifan lokal.
Kasepuhan Ciptagelar merupakan sebuah desa adat yang terletak di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Lokasinya yang terhimpit di antara hutan belantara menjadikan lokasi Kasepuhan Ciptagelar memiliki lanskap yang sedap dipandang mata.
Adat serta tradisi di desa ini masih dijaga dengan baik oleh masyarakatnya. Menurut data dari Watchdoc, Kasepuhan Ciptagelar selayaknya sebuah ibukota dari 568 kampung lainnya yang dihuni kurang lebih 30.000 jiwa di lahan seluas kurang lebih 5000 hektar. Mereka dipimpin oleh seorang kepala adat yang biasa disebut abah.
Kearifan lokal atau kesederhanaan yang mereka hadapi, bukan karena keterpencilan yang mereka alami. Hal itu justru merupakan pilihan mereka agar terus hidup dalam keharmonisan serta berkontribusi dalam menjaga kebudayaan warisan nenek moyang dan menjaga kelestarian alam.
Lantas, bagaimana mereka bisa dianggap sukses dengan kesederhanaan?
Geografis Kasepuhan Ciptagelar
Pada ketinggian 1.200mdpl, area seluas 4.906 hektar tanah yang terdapat di Kabupaten Sukabumi merupakan bagian dari area/wilayah teritori Kasepuhan Ciptagelar. Area yang digunakan untuk pertanian juga tanpa sertifikat dan bukan hak milik pribadi. Untuk itu, segala hasil pertanian masyarakat Ciptagelar merupakan milik bersama.
Seluas 50% dari tanah adat disebut sebagai Hutan Titipan yang tidak boleh dimanfaatkan. 30% berikutnya disebut Hutan Tutupan yang bisa dimanfaatkan secara terbatas untuk hasil hutan non-kayu. 20% sisanya merupakan Hutan Bukaan yang meliputih sawah, ladang, dan permukiman di mana 10% nya merupakan sawah.
Hutan yang mendominasi wilayah Kasepuhan Ciptagelar, menjadikan daerah ini kaya akan sumber air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam kebutuhan.
Kehidupan Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
Kehidupan masyarakat Ciptagelar selalu diiringi dengan aturan adat dan tradisi setempat. Salah satu kegiatan mereka yang sukses dijalankan adalah persoalan swasembada pangan. Masyarakat Ciptagelar memiliki cara unik dalam bertani. Mayoritas hasil tani Kasepuhan Ciptagelar adalah padi/beras yang di panen hanya satu kali dalam setahun. Mereka pun melihat tanda-tanda alam untuk memulai kegiatan pertanian untuk hasil panen yang berkualitas baik.
Meski begitu, hasil panen padi masyarakat Ciptagelar yang dilakukan setahun sekali, pasokan yang tersimpan di lumbung padi diklaim dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat kurang lebih 3 tahun. Cara panen ini juga terbukti menurunkan jumlah hama dikarenakan setelah panen, ladang tersebut dibiarkan kosong sehingga tidak ada tempat bagi hama untuk berkoloni. Pada periode menanaman berikutnya, otomatis padi yang tumbuh akan jauh dari serangan hama, yang pastinya membuat hasil panen yang berkualitas.
Meskipun memiliki hasil panen yang baik dan banyak, masyarakat Ciptagelar dilarang keras untuk menjual hasil panennya. Selain itu, pertanian yang ada di sana juga dilarang menggunakan teknologi modern atau pupuk kimia dalam prosesnya.
Dalam video dokumenter WatchDoc Image yang tayang di Youtube, Yoyo Yogasmana menjelaskan bahwa padi atau beras adalah kehidupan. Ketika seseorang menjual beras, sama artinya dia menjual kehidupan itu sendiri. Menurutnya juga, kehidupan yang terjual berarti juga sudah menghilangkan nyawa yang merupakan sebuah dosa besar.
Selain bertani untuk sumber pangan, masyarakat Ciptagelar juga berternak, berdagang, atau menjadi pegawai untuk menghasilkan uang yang digunakan untuk membeli kebutuhan lainnya.
Sumber Energi Desa
Meski berada di lokasi yang terpencil, bukan berarti Kasepuhan Ciptagelar jauh dari akses listrik. Lokasi desa serta sumber air yang berlimpah membuat desa ini mampu menghasilkan energi bersih lewat pembangkit listrik mikrohidro. Pembangkit listrik ini dirancang sendiri oleh pemimpin adat Kasepuhan Ciptagelar, Abah Ugi yang dibantu oleh Yayasan IBK. Daya yang dihasilkan dari pembangkit ini diklaim mencapai 9.750watt.
Pembangkit listrik mikrohidro itu memanfaatkan aliran sungai desa yang memiliki debit air 200 liter per detik. Selain itu, beberapa panel surya juga sudah terpasang untuk membantu kebutuhan listrik desa. Meskibegitu, masyarakat yang ikut menikmati listrik ini, dikenakan biaya tidak sampai Rp30.000 untuk biaya perawatan pembangkit listrik.
Sudah sejak tahun 90an, desa ini menikmati energi listrik. Bahkan, mereka tak hanya mengembangkan pembangkit listrik, namun juga Kasepuhan Ciptagelar memiliki saluran televisi lokal bernama CIGATV. Bentuk teknologi yang diaplikasikan di desa, mayoritas merupakan barang tangan kedua atau barang second yang dimanfaatkan dengan sempurna oleh masyarakat setempat.
Abah Ugi selaku pemimpin adat, merupakan pioneer dari teknologi yang ada termasuk siaran CIGATV. Abah Ugi dengan kecerdasannya menjadi seorang yang inspiratif bagi masyarakat sekitar atau desa-desa terpencil lainnya bahwa inovasi merupakan kunci untuk kehidupan yang layak, bukan semerta-merta harus dalam sebuah kemewahan atau kekayaan.
Kearifan lokal yang diaplikasikan pada Kasepuhan Ciptagelar menghasilkan kehidupan yang layak dan sebuah arti penting demi menjaga kelestarian nilai kebudayaan, adat, dan tradisi. Kesederhanaan dalam menjalani hari masyarakat juga menciptakan sebuah keseimbangan antara alam dengan penghuninya. Gotong-royong yang kerap dilakukan juga menciptakan keharmonisan dalam kehidupan sosial.
Destinasi Wisata Kasepuhan Ciptagelar
Sama halnya seperti Desa Baduy, Kasepuhan Ciptagelar juga termasuk salah satu desa wisata yang bisa dikunjungi wisatawan. Untuk bisa sampai ke desa ini, wisatawan memerlukan waktu kurang lebih 4 jam dari pusat kota Sukabumi. Umumnya, desa ini hanya bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi alias tidak ada angkutan umum yang beroperasi khusus menuju Kasepuhan Ciptagelar.
Meskibegitu, destinasi ini hanya bisa dikunjungi pada waktu-waktu tertentu. Senin sampai kamis, Kasepuhan dibuka untuk wisatawan pada pukul 09:00WIB hingga 19:00WIB. Pada hari jumat, waktu operasionalnya sama seperti hari sebelumnya, namun ditutup sementara pada pukul 11:30WIB hingga 13:30WIB. Khusus sabtu, kunjungan wisata dibatasi pada pukul 10:00WIB sampai 16:00WIB, dan tutup sepenuhnya pada hari minggu.
Pengunjung tidak perlu membayar biaya tiket masuk untuk wisata ke desa ini. Meski begitu, setiap pengunjung diwajibkan untuk berperilaku sopan santun untuk menghargai adat, tradisi, serta budaya sekitar. Selain menghormati sesama, turut serta dalam menjaga lingkungan juga diharuskan agar alam sekitar Kasepuhan Ciptagelar tetap terjaga kelestariannya.
Hal khusus lainnya untuk berkunjung ke desa ini tentunya juga harus izin terlebih dahulu kepada pengurus desa. Serta juga, bagi pengunjung pria diwajibkan memakai ikat kepala khas Kasepuhan Ciptagelar. Untuk wanita, diharuskan memakai kain yang dililitkan di pinggang.
Baiknya, para pengunjung menjadikan wisata ke desa ini sebagai wisata edukasi. Bagaimanapun, desa adat merupakan tempat dimana kekentalan budaya dan tradisi masih terjaga. Mempelajari aktifitas desa dengan kearifan lokalnya, mencari tau maksud dan tujuan dari tradisi-tradisi yang ada lebih baik daripada sekedar wisata hanya untuk bersenang-senang.
Selayaknya masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, mari kita ikut serta dalam menjaga alam, budaya, serta kesedehanaan dalam berkehidupan. Bagaimanapun, masyarakat Ciptagelar menjadi sebuah contoh betapa pentingnya kita menjaga kelestarian lingkungan serta semangat gotong-royong demi menjaga keharmonisan sesama manusia. (Sultan F.)