Masa Depan Industri Musik Digital di Era Industri 4.0

Travelounge

era industri 4.0

TRAVELOUNGE.CO I JAKARTA, 17 Desember 2018 – Di era milenial, sejatinya industri musik disimpang jalan. Menyikapinya, Forum Wartawan Hiburan (Forwan) kerja bareng Nagaswara Musik, Ascada Musik, Pro Aktif, Humas TVRI, PT. Kino Indonesia Tbk, PT Mayora Indonesia Tbk, Papa Ron’s Pizza menggelar Diskusi Musik Seputar Industri Musik dengan mengusung tema “Masa Depan Industri Musik Digital di Era Industri 4.0” di Studio Of Star TVRI yang sekaligus Resto Papa Rons Pizza Cafe komplek TVRI Stasiun Pusat, Jakarta (16/12).

Untuk mengurai persoalan itu, nara sumber yang dihadirkan adalah Rahayu Kertawiguna (CEO Nagaswara Musik) Agi Sugiyanto (CEO Pro Aktif), Naratama (Produser Voice Of America, New York), Rummy Aziez, Produser Jagonya Musik & Sport (Partners Distribusi FC) dan Seno M Hardjo (Target Pop).

Sebagai produser yang mengawali bisnis musiknya dengan memproduseri sekaligus manajemen Trio Macan, Agi Sugiyanto, mengangkat tema Masa Depan Penyanyi Pendatang di Era Industri Digital 4.0. Menurutnya peluang penyanyi pendatang sangat terbuka lebar. Karena itu sampai sekarang ia masih suka blusukan ke berbagai daerah dan memantauan sosial media untuk mencari penyanyi baru untuk diorbitkan menjadi penyanyi masa depan.

“Sekarang saya dan tim mudah saja memantau artis sosmed yang sedang viral. Kalau di rasa bakal bisa dijadikan artis populer langsung kontrak. Beres..,” papar Agi.

Selain itu ia juga sering didatangi para penyanyi yang minta diorbitkan. “Syarat nya mesti cantik, seksi dan jumlah followernya besar. Kalau mau cara ekstrim, kalau cantik ya cantik sekalian, atau sebaliknya. Kalau begini biasanya lebih gampang diorbitkan,” ujar mantan wartawan Warta Kota ini.

Sementara Rahayu Kertawiguna, mengungkapkan, Nagaswara yang sudah eksis sejak 1999 dengan genre house music International dan house remix lokal, melalui era digital ini harus mengedepankan sisi kreatif yang inovatif. Dulu, saking kreatifnya dalam merilis produk musiknya, banyak kritikan yang ditujukan padanya. Tapi pada akhirnya justru punya nilai ekonomis dan brand yang eksklusif. Menjadi trend musik dangdut masa depan.

“Kalau dulu banyak yang bilang house musik, house remix dan musik koplo adalah musik sampah dan musik kalangan bawah, ini justru menjadi tantangan tersendiri. Saya harus membuktikan pendapat itu salah dengan brand image yang sukses. ” Ujarnya.

Jadi menurut Rahayu bila ingin bisa bertahan dan menerobos di era industri 4.0 pelaku industri musik harus berani lakukan inovasi dan menghadirkan musik yang berbeda. “Peluang itu tetap ada, tapi harus berani melakukan inovasi dan mengikuti terobosan generasi milenial. Promosi secara gencar di media sosial dengan kemasan generasi yang kekinian,” tegas Rahayu.

Akan halnya Rummy Aziez yang tetap optimis kalau penjualan musik dalam bentuk fisik seperti CD masih diburu penggila musik. “Penjualan musik dalam bentuk CD masih laku keras di KFC, meski tidak sedahsyat dulu. Tapi peluang itu tetap ada, meski era industri 4.0 terus merangsek” kata Rummy Aziez.

Baca Juga: Tren Media Landscape di Era Digital 4.0, Antara Peluang dan Kehancuran

Rummy menambahkan Jagonya Musik & Sport Indonesia kini juga membangun app’s digital musik yang rencana di launching di tahun 2019. “Untuk mengantisipasi era industri 4.0 Jagonya musik dan sport tengah membangun app’s Digital. Insya Allah diluncurkan tahun 2019 mendatang,” papar Rummy.

Sementara itu Seno M. Hardjo CEO Target Pop memiliki strategi dalam menghadapi era Digital Market. Menurutnya, era Musik Digital itu sebuah gerak budaya industri yang sinergis. Pelaku industry music wajib ikut arus, jika ingin tetap survive. Musik yang ditampilkan, kemasan artis dan cara berpromosinya sudah satu bulatan paket. Tidak bisa setengah setengah.

“Musiknya simple dan harus yang cepat tangkap. Tampilan artisnya wajib kekinian dan Medsos sangat berperan dalam promosinya,” ujar Seno M. Hardjo salah satu BOD AMI Awards.

Tapi untuk keseimbangan cita rasa, Seno juga tetap membuat musik yang indah dan elegan sebagaimana Album Greatest Hits Hedi Yunus yang baru saja dirilisnya di Digital Sales seluruh dunia. Termasuk di iTunes, Joox, Apple Music, Deezer dan layanan streaming Spotify. Resep album tersebut adalah 7 lagu dengan nuansa orchestra atau live chamber. Dan sisanya music EDM Pop ringan.

Tidak dinyana sambutan pasar millenials sangat positif. Lagu dengan kemasan ringan seperti lagu ‘Jika ‘ yang dulu popular di bibir Melly & Ari Laso, kini popular lagi karena dinyanyikan ulang Hedi Yunus duet dengan Sara Fajira. “Dalam beberapa hari streaming Listenernya sudah nyaris 50 ribu. Sementara lagu yang dikemas dengan live chamber oleh Tohpati ‘Sebatas Mimpi’ baru menapak 5 ribu Listener.

Namun hal tersebut tidak menyurutkan tekadnya untuk tetap meramu music orchestra nan elegan. “Usia dengarnya bisa lebih abadi. Karena tentu saja harmoninya lebih lebar dan menancap di hati,” ungkap Seno lagi. Inilah the way of thinking nya menghadapi era Musik Digital. Termasuk menyiasati pendistribusian, packaging artist hingga pilihan lagu dan music, sehingga keberadaan Target Pop tetap terjaga. Yakni, ikut berperanserta melestarikan musik dan Musisi legenda Indonesia. Dan terus ‘belajar’ memproduksi dan melebur dengan taste music millenials.

Naratama menjelaskan meski industri musik fisik terjun bebas tapi peluang bisnis musik digital terbuka lebar. “Buktinya, efek band Rumah Kaca tanpa harus promosi, tanpa harus berbahasa inggris bisa menembus pasar AS. Musik Indonesia bisa masuk, ” ujar Naratama.

Musisi Indonesia mestinya meniru musisi Korea Selatan, yang berhasil masuk ke pasar Amerika hingga dunia tetap dengan nuansa dan bahasa Korea. “Musik dengan jati dirinya. Tapi jangan bawa bahasa dan budaya mereka. Nggak kemakan, buktinya penyanyi Korea dengan bahasa Koreanya justru menjadi perhatian dunia,” pungkas Naratama.

Ismail Sidik

Berbagi: